Jam 8.10, aku tiba di kantor pagi ini. Terlalu pagi. Ini sebetulnya tidak terkait dengan PP 53 (maaf, tahunnya lupa), yang mengatur tentang kewajiban dan larangan PNS. Tapi, aktivitas pagi memang kita butuhkan, ketimbang berlama-lama di depan TV yang tak pernah sepi dengan berita tentang pengelolaan Negara yang amburadul, atau kisah perceraian para artis, atau kisah si Norman. TV pagi hari selayaknya sampah.
Sungguh, kini aku telah menikmati hari-hari pagi di kantor. Atau yang lebih tepat adalah menikmati kantinnya. Kantinnya yang akrab, hehehe, hingga pengelolanya rela menambah daftar menu baru hanya untuk memenuhi permintaanku, yah, kini di kantin telah ada menu baru: teh panas.
Sebelumnya, kantin hanya menyediakan minuman dingin kemasan, ditemani beberapa jenis gorengan. Kantin ini menjadi tempat yang paling memungkinkan untuk menghindari iklim kantor yang kaku dan membosankan. Kantin menjadi surga di tengah udara gerah kantor yang memompa keringat.
Tiba pagi di kantor adalah pengalaman baru buatku. Karena sebelumnya, saya lebih sering datang ketika jarum jam kantor menunjuk angka 8.30 atau lebih sering di angka 9, itupun dengan frekuensi dua atau tiga kali seminggu. Selebihnya saya lebih sering menghabiskan waktu di warkop. Dengan apologi: saya lebih produktif di warkop ketimbang berlama-lama di kantor. Ini sebetulnya sebuah kejujuran yang menyesatkan.
Karena saya beranggapan, bahwa kantor ini memang tidak lebih hanya semacam tempat mengisi absen saja. Orang-orang datang lebih awal, lebih pagi, hanya untuk mengisi absen. Setelah isi absen, mereka pun terdiam atau bingung. Yang lain membaca Koran, atau sibuk main catur. Kantor ini lebih tampak seperti tempat pelarian saja: lari dari kejumudan, lari dari kecemasan, atau lari dari pertengkaran rumahnya.
Di kantor ini, absensi adalah salah satu kelengkapan berkas yang paling mendasar bagi seorang pegawai. Sehingga, setiap pegawai selalu mengejar absen. Selain absen, laporan progresivitas, laporan kegiatan, laporan keuangan adalah sejumlah berkas yang mutlak diadakan dan dilengkapi. Bahkan, sebuah laporan kegiatan yang hanya sebatas wacana -atau masih dalam tahap perencanaan- pun harus dilaporkan dan tentunya harus disertai dengan laporan keuangan yang terinci dan tersusun rapi.
Menakar produktivitas memang tidak cukup hanya dengan meneliti setumpuk berkas. Karena berkas bisa saja bercerita dengan bahasa ideal atau disusun berdasarkan kesepakatan oleh beberapa pihak. Nah, berkas inilah yang menjadi tumpuan orang-orang di kantor untuk dapat tunjangan, atau tambahan pendapatan lainnya di luar gaji rutin yang diterima. Entahlah, saya juga tidak paham alurnya.
Kadang juga terpikir bahwa, apakah memang ini yang dilakukan pegawai negara? Status yang begitu diagungkan di negeri ini, bekerja hanya untuk memenuhi kelengkapan administrasi? Bekerja untuk mengumpulkan berkas-berkas? Hahaha. Negeri ini memang dibangun oleh setumpukan berkas. Sehingga, orang-orang diukur berdasarkan berkas yang mampu dia kumpulkan.
Jujur, pikiran itu selalu hadir di kepalaku. Ketika orang-orang dari inspektorat datang melakukan tugasnya selaku pengawas. Semua orang di kantor mendadak menjadi orang-orang paling sibuk. Sibuk mengumpulkan berkas. Dalam hati saya bergumam: “ternyata orang-orang sibuk itu, kerjanya hanya mengumpulkan berkas”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H