Mohon tunggu...
Subarman Salim
Subarman Salim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis mungkin bisa membantumu memahami kehidupan dari perspektif yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Ammanagappa Menangani Sengketa Laut Cina Selatan

14 Mei 2024   10:53 Diperbarui: 21 Mei 2024   07:17 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Iyanae pau pole riyanggarisie tomakkali tu/tue sompereng kappala riyasenge {Tuan Karid [HAR]} tuang karidi a/[ng]garisi ala masseya-seya muwa kappalana arunge riya/[ng]garisi nasompereng demuwaneng naengka seuwa-seuwa / magu[ang]gu massanja[ta] simponenna manjaji kapitan kappala naiyana /10/ naritaro ri sureewe pallolongenna kuwammengi na/lai anreguru sininna passompee riyase anging / ritoddang anging aja muparinnajai pallolongeng tuju/e."
Artinya: Inilah kata yang datang dari Inggeris [dari se]orang yang berhati-hati dalam pelayaran kapal - dinamai Tuan Karid Inggeris - ada kemungkinan kapal raja di Inggeris ia layarkan - tidak pernah ada gangguan bersenjata sejak ia menjadi kapten kapal dan itulah ditulis dalam surat [lontaraq] pendapatnya supaya dijadikan pelajaran oleh para pelayar di atas dan di bawah angin - jangan engkau menyia-nyiakan pendapat yang benar itu. (Liebner, 1998)  


Tampaknya Ammanagappa sengaja mengutip Tuan Karid tidak hanya untuk keperluan navigasi laut. Lebih dari itu, Ammanagappa menunjukkan sisi obyektif dan semangat global encounters dalam memandang laut. Siapapun, dari negeri mana pun ia berasal, sepanjang ia memiliki reputasi yang baik dalam pelayaran, maka pendapatnya harus didengar.

Sebenarnya, dunia sudah lama mengenal prinsip kebebasan dan nilai universalis mengenai laut. Sekitar 7 abad lalu, pada masa kejayaan Romawi, dunia mengenal prinsip "Res nullius res communis, yang bermakna laut adalah wilayah tidak bertuan, karena itu laut adalah milik bersama.

Pada masa pra-kolonial, kerajaan-kerajaan di Nusantara yang berbasis laut mengalami masa kejayaan berkat pengetahuan tentang laut dan mengoptimalkan potensinya. Pada rentang abad XVI-XVII Kerajaan Makassar mengalami perkembangan pesat berkat penerapan prinsip Mere Liberum (laut bebas). Saat itu, Makassar tumbuh menjadi kota dunia, dengan dukungan pelabuhan emporium, menjadi magnet bagi pedagang-pedang dari seluruh penjuru dunia, menegaskan supremasinya di bidang pelayaran dan perdagangan.

Dari jazirah Sulawesi, negeri yang dikenal melahirkan pelaut-pelaut ulung, kita juga mengenal tokoh Ammanagappa dari Kerajaan Wajo pada 1676 yang berhasil merumuskan hukum laut dalam sebuah kitab bertajuk "Ade' allopi-loping bicaranna pa'balu-baluE". Selanjutnya hukum Ammanagappa banyak dratifikasi oleh pelaut-pelaut dari luar, bahkan dipakai oleh aturan maritim internasional selang tiga abad kemudian (sulsel.idntimes.com).    

Lantas, bagaimana Ammanagappa memecahkan permasalahan yang terjadi di laut? Secara spesifik, pada pasal 11, disebutkan bahwa ketika terjadi persoalan di atas kapal, maka kapal dari pihak yang bertikai tersebut tidak diizinkan ke darat sebelum mereka menemukan solusi. "Janganlah membawa kesusahan kepada pemimpin negeri, sebab tiap-tiap negeri yang kau singgahi memiliki hakim", demikian petuah Ammanagappa.

Tapi waktu telah menghadirkan pola hubungan dan konflik yang kian kompleks. Sengketa perbatasan laut tidak pernah benar-benar menghadirkan kepuasan dari pihak yang bertikai. Yang aktual dan berpotensi menghadirkan eskalasi konflik adalah kawasan Laut Cina Selatan.  

Sejarah Perspektif Laut Indonesia
   
Indonesia salah satu yang paling keras mendorong terwujudnya hukum yang komprehensif tentang laut dalam konvensi PBB UNCLOS 1982. Konvensi dunia itu lalu diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Kesepakatan ini tidak hanya mengatur batas teritori kedaluatan dengan jarak 12 mil laut (sekitar 22,2 kilometer), tetapi juga mencakup ruang udara dan tanah serta kekayaan alam yang ada di bawahnya.  

Sebelumnya, pada Tahun 1957, Perdana Menteri Djuanda pun telah membuat langkah besar dalam upaya menjaga kedaulatan perairan yang sebelumnya lebih banyak merupakan ruang tak bertuan. Secara tegas Deklarasi Djuanda didorong untuk menjaga keutuhan NKRI, sebagai negara kepulauan yang memiliki lalu lintas pelayaran yang luas.

Ancaman keamanan terhadap kedaulatan di sisi laut memang masih menjadi hal yang urgen bagi kedaulatan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Sejumlah negara yang lautnya berbatasan langsung tidak jarang menemukan situasi yang tidak harmonis, misalnya kapal pencari ikan yang melampaui batas negaranya, atau manuver pesawat militer yang terbang mengintimidasi.

Patut disayangkan, di tengah upaya untuk menghadirkan lalu lintas laut yang damai, sikap dunia masih terbelah dan ambigu. Amerika yang konon paling demokratis, justru belum meratifikasi UNCLOS. Sementara Cina yang menyetujuinya, kenyataannya sering pula melanggarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun