Mohon tunggu...
Subarman Salim
Subarman Salim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis mungkin bisa membantumu memahami kehidupan dari perspektif yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Millenial Memilih Rasional

12 Mei 2024   19:30 Diperbarui: 12 Mei 2024   19:41 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Padahal, demokrasi dalam prakteknya tidak boleh terberi, ia tidak boleh kehilangan konteks, dan harus mampu mengakomodir kultur masyarakatnya. Bagaimana mewujudkan praktek demokrasi yang kontekstual, adalah isu lain yang tak kalah penting dan mendesak untuk direalisasikan, di saat demokrasi hanya mengejar angka partisipasi.

Kekhawatiran itu jelas tidak hadir tanpa alasan. Setidaknya saya menemukan dua kasus spesifik yang menggambarkan betapa demokrasi yang sedang kita jalani adalah arena perebutan ruang bagi elit namun menjadi bencana bagi masyarakat akar rumput.
 
Kasus pertama: Pengakuan salah seorang warga di Desa X, Kecamatana Ponre, Kabupaten Bone Sulsel, yang permohonan izin usahanya tidak mendapatkan respon baik alias berbelit-belit dari aparat desa. Perlakuan itu terjadi karena terindikasi ia memilih calon lain, saat pemilihan kepala desa;

Kasus lain, seorang warga Desa Y, Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone Sulsel dipaksa membongkar rumahnya yang berdiri di atas tanah calon kepala desa yang tidak terpilih.

Kejadian-kejadian tersebut menunjukkan bahwa esensi demokrasi belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Demokrasi masih eksklusif dan prakteknya masih menjadi ruang yang didominasi oleh elit dan kelompok tertentu. Posisi warga sipil kian lemah.

Harapan kita ada pada anak-anak milenial. Mereka yang memilih dengan pertimbangan rasional, bukan karena karena pertimbangan sekampung, selorong, sekampus, atau karena jenis kelamin, hihi

Pertanyannya adalah: bilakah millennial menjadi pemilih rasional?

Bahkan jika pengelompokan berdasarkan usia 17-39 tahun, maka peta demografi peserta Pemilu 2024 menghampir angka 60 persen (Survei CSIS, 2023). Artinya, jika kelompok anak-anak muda bisa terkonsolidasi dengan baik, dan yang terpenting mereka mampu menghadirkan iklim berpolitik yang lebih visioner, maka masa depan Indonesia bisa lebih baik.

Kita tentu saja tidak hanya berbicara angka demografi, namun anak-anak muda perlu asupan literasi politik yang sehat dan berdaulat. Sehat dalam artian tidak terkontaminasi dengan narasi-narasi yang berbau chauvinism yang lahir dari watak feodal. Anak-anak muda mutlak berdaulat dan berani melepaskan diri gerbong-gerbong yang terlanjur dibangun oleh politisi tua.

Mampukah anak-anak muda berdaulat dalam berpolitik? Beberapa daerah saat ini akan menggelar Pilkada serentak pada November 2024. Ini momentum yang tepat untuk menguji sejauhmana anak-anak muda ini dapat berkontribusi.

Gerakan bisa dimulai dengan menggagas konvensi guna menjaring calon pemimpin yang ideal dan bersedia menandatangani kontrak politik. Konvensi ini bisa melibatkan partai politik, bersama kelompok-kelompok progresif lainnya yang memiliki visi yang sama untuk memastikan Pilkada buka pertarungan elit atau kelompok. Lebih dari itu, Pilkada adalah wahana untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih baik, yang tidak terganggu dengan tagihan politik partai pengusung juga tidak tersandera oleh pengusaha kartel.          

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun