Mohon tunggu...
Subarman Salim
Subarman Salim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis mungkin bisa membantumu memahami kehidupan dari perspektif yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

(Makna) Yang Hilang dari Ritual Pernikahan Bugis

11 Mei 2024   09:05 Diperbarui: 11 Mei 2024   09:06 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu hari di sebuah hajatan prosesi lamaran, saya bertemu dengan seorang kawan lama. Namanya Awal, salah seorang tokoh agama di kampung, akrab dipanggil Pak Ustad. Setelah prosesi Mappenre Balanca (salah satu tahapan ritual akad nikah Bugis), kami (saya dan pak ustad) menarik kursi yang di depannya ada meja dengan hidangan barongko, katri sallang, lapisi, onde-onde, dan aneka kue lainnya.
 
Karena lama baru bersua, kami jadi punya banyak isu untuk dibahas. Topik dimulai dari upaya menumbuhkan kembali tarekat-tarekat lama yang pernah lahir dari rahim NU (Nahdlatul Ulama). Untuk topik yang ini, saya hanya yess saja. Karena saya pikir itu memang penting bagi penguatan tradisi beragama. Agama tanpa tradisi berpotensi melahirkan dogma. Dan dogma lebih dekat pada kesesatan. Dan, bagi saya tarekat-tarekat yang ada adalah representasi dari penguatan tradisi dalam beragama.

Lalu perbincangan kami lanjutkan ke topik adat. Beberapa ritual yang kita saksikan hari ini terasa jauh berbeda dengan apa yang pernah dipraktekkan orangtua dulu. Kini adat sedang berada di persimpangan dan didera kegamangan: bertahan dengan yang otentik namun kurang diminati, atau mengombinasikannya dengan tuntutan perubahan namun berpotensi tereduksi dan kehilangan makna.

Padahal, ritual-ritual itu tidak hadir di ruang kosong. Ada makna yang dalam terkait tradisi, pesan-pesan kultural, baik tentang hubungan kedua mempelai, juga tentang bagaimana rangkaian adat itu menggambarkan proses terbangunnya sebuah rumah tangga.

Menurut ustad Awal, bahwa sejumlah ritual adat kini telah berpotensi mengalami kesalahan penafsiran bahkan mungkin yang paling fatal adalah terjadinya kekosongan makna.

Misalnya, pada rangkaian ritual adat pernikahan. Dulu, kita mengenal istilah "rapo-rapona", itu dimaknai sebagai upaya menjaga calon agar tetap 'mabere', agar senantiasa menjaga diri (fisik dan psikis), terhitung sejak hari 'mappettu ada' hingga tiba hari pernikahan.

Hari-hari rapo-rapona itu berlaku untuk kedua calon mempelai. Mereka diharapkan memanfaatkan hari-hari itu untuk tidak hanya menjaga tubuh, menjaga pandangan, tapi juga digunakan untuk belajar, terutama belajar "mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali". "Mengelilingi dapur tujuh kali" adalah ungkapan kiasan yang bermakna momen belajar mengenai seluk-beluk rumah tangga. Perumpanaan dapur mewakili kompleksitas rumah tangga yang di dalamnya terutama mencakup urusan pemenuhan kebutuhan pangan. Dapur juga merepresentasikan dinamika rumah tangga dan pembagian tugas dan tanggungjawab. Sayangnya, kita menyaksikan ritual itu sudah mulai dilangggar, dengan sadar, dengan alasan bahwa jaman sudah jauh beda.

Rangkaian lain yang tak kalah sakral adalah mappenre balanca. Momen ini mempertemukan dua keluarga, namun pada tahap ini tetap diwakili oleh "duta", yang dalam prakteknya masing-masih dipimpin oleh seorang pabbicara. Yang disebut terakhir ini memiliki kemampuan mengolah bahasa sehingga yang terdengar adalah rangkaian pantun berbalas. Bahasa yang digunakan bukan bahasa sehari-hari, melainkan bahasa bugis lama yang memiliki nilai sastra tinggi. Pabbicara bukan sekadar juru bicara biasa. Ia mutlak menguasai struktur bahasa bugis, sehingga mampu menemukan rangkaian kata yang sesuai konteks, mampu menghidupkan suasana dengan saling berbalasan pantun, dan tetap memiliki makna berupa pesan-pesan leluhur.  

Sayangnya, di momen mappenre balanca, akhir-akhir ini terlihat justru memfasilitasi pertemuan kedua mempelai. Untuk apa mereka bertemu? Padahal, mereka harusnya tetap mematuhi momen raporapona. Jangan-jangan ini demi kepentingan konten media sosial Youtube atau Tiktok? Ataukah ini bagian dari kerja para WO (wedding organization) yang sebenarnya awam dengan ritual adat?

Karena jika merujuk ke rapo-rapona, harusnya kedua pengantin belum saatnya (belum diperkenankan) bertemu, jika ingin menerapkan adat lokal dalam pernikahan. Karena, jika di acara mappenre balanca kedua pengantin sudah haha-hihi, futufutu, rangkul-rangkulan, dan ehem-eheman, lalu makna apa yang tersisa nanti di hari H pada ritual sikarawa?

Glosarium:
Mappettu ada= proses pelamaran
Mappenre balanca= ritual membawa mahar pihak pengantin laki-laki ke rumah calon mempelai perempuan
Pabbicara= tokoh adat yang memiliki kecakapan dalam merangkai bahasa atau sastra Bugis. Dalam prosesi mappenre balanca, pemangku adat yang bertugas mewakili pihak calon pengantin
Rapo-rapona= masa-masa rentan calon pengantin
Sipakarawa= ritual bersentuhan fisik pertama pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun