Mohon tunggu...
Subarman Salim
Subarman Salim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis mungkin bisa membantumu memahami kehidupan dari perspektif yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hipokrit

5 April 2014   03:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kibul

Kibul adalah definisi lain dari munafik. Kibul dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kibul disetarakan dengan hipokrit, orang yang berpura-pura. Namun, hipokrit seringkali diartikan sebagai penyakit kejiwaan.

Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s, kata “Hypocrite” didefinisikan sebagai “a person who pretends to have moral standards or opinions that they do not actually have. Hipokrit adalah orang yang berpura-pura memiliki standar atau patokan moral atau opini yang sebenarnya tidak dimilikinya.

Jika disederhanakan, hipokrit adalah orang yang tidak konsisten, tidak mampu berkomitmen. Orang ini memiliki perbedaan antara apa yang diucapkan dengan apa yang (seharusnya) dia lakukan. Dalam pandangan ilmu kejiwaan, sosok hipokrit sesungguhnya sedang menderita sakit, sakit jiwa.

Jiwa yang sakit bagi hipokrit timbul dari kibul. Kibul yang dilakukannya tidak hanya menipu orang lain, bahkan kedok yang digunakannya sesungguhnya mendustai dirinya sendiri. Kibul inilah yang menjadi sumber malapetaka dalam kehidupan pribadi sang hipokrit, juga bagi mereka yang percaya dengan kibulannya.

Mengapa orang ngibul?

Orang yang ngibul tidak hanya berbahaya bagi orang lain yang dikibulinya, akibat fatal justru mengancam eksistensi pribadi si pengibul. Si pengibul bisa kehilangan jati diri. Hipokrit umumnya dipicu oleh keinginan kuat untuk mendapatkan sesuatu, tanpa dilandasi dengan variabel pendukung yang cukup. Atau bahasa sederhananya, seorang yang berharap tinggi, tanpa disertai dengan upaya yang optimal.

Dalam prakteknya, hipokrit berusaha untuk terlihat hebat dan luar biasa. Jika sang hipokrit tidak memiliki kekuasaan, maka dia akan menguras energi untuk “cari muka”. Jika ia seorang pegawai, maka intensitas kerjanya sangat ditentukan oleh besarnya perhatian sang bos. Bahkan, ia tak segan melakukan sesuatu diluar tugasnya, hanya untuk menyenangkan si bos.

Sang hipokrit bekerja untuk mengejar prestise dan pengakuan dari orang lain. Ia bersedia membayar mahal, siapapun yang bersedia bergabung dengannya. Bahkan, ungkapan-ungkapan yang membesarkan kepala (dalam bahasa prokem bugis=golla’) menjadi santapan sehari-hari. Sang hipokrit tidak menjejak bumi, karena ia hidup di antara kenyataan dan harapan.

Politik Hipokrit

Lalu bagaimana korelasi hipokrit dengan (money) politik? Meski sering dikutuk, money politic masih saja ditemukan dengan beragam modus. Seseorang boleh saja memberi sesuatu kepada orang lain, bahkan pada semua ajaran agama, memberi dianjurkan. Namun jika seseorang memberi karena berharap imbalan dari subyek yang diberi, maka di sinilah timbul benih-benih hipokrit.

Caleg hipokrit tidak pernah bisa rela memberi. Baginya, berarti ada dua keinginan terpendam: mengharap imbalan (untuk dicoblos dalam Pemilu), atau boleh jadi dia sedang berdagang. Caleg yang memberi uang berarti dia sedang berdagang, seluruh pemberiannya kepada konsituen adalah biaya yang dihitung sebagai kredit. Kelak ketika dia terpilih, maka sesuai dengan rumus dagang, ia akan mengembalikan semua pemberiannya dan lebih dari itu sebagai laba.

Sang hipokrit boleh berdalih, bahwa seluruh materi yang dikeluarkan adalah cost politic (biaya politik), dan ini lumrah dalam alam demokrasi. Jika ini sudah lazim, maka bisa dibayangkan kualitas pemerintahan yang akan terbentuk kelak.

Dalih cost politic sesungguhnya tidak cukup sahih. Sebab, pembiayaan politik yang ril hanya terkait dengan atribut sebagai media sosialisasi dan biaya manajemen, atau lebih akrab di telinga dikenal dengan istilah tim sukses. Media sosialisasi seperti kartu nama, spanduk, baliho, bendera partai, profil partai dan Calegnya hingga model surat suara. Biaya manajemen biasanya lebih besar, namun tetap dalam bentuk instrument tim dan segala pembiayaan yang terkait, seperti transportasi, akomodasi, konsumsi, telekomunikasi, dan fee.

Pembiayaan selain dari dua item di atas boleh jadi adalah instrument politik hipokrit. Dalam hal pembiayaan, politisi hipokrit, setidaknya memiliki rumus umum: uang banyak suara banyak. Nyaris tak ada ruang bagi Caleg yang hanya memiliki integritas dan kapasitas kelimuan berupa kemampuan retoris, kemampuan analitis, dan kemampuan manajemen, namun lemah dalam dukungan financial.

Konsituen Hipokrit

Politik hipokrit tidak hanya menimpa para Caleg. Watak hipokrit mungkin sudah menjangkiti para konsituen. Mereka yang hadir kampanye karena diiming-iming uang. Mereka meneriakkan yel-yel dan nama partai, mengibarkan bendera partai, lalu berkonvoi keliling kota, hanya untuk mengesankan bahwa mereka pendukung partai tertentu, tapi mereka sama sekali tidak paham dengan orientasi partai yang dibelanya. Mereka tidak pernah tahu visi misi partai yang atributnya terpajang di depan rumahnya. Bahkan, mereka sama sekali tidak peduli dengan apapun, selain karena mereka akan mendapatkan selembar uang. Mereka itu hipokrit. Mereka membohongi diri mereka sendiri.

Dalam sistem demokrasi perwakilan, konstiuen hipokrit lebih berbahaya dibanding politisi hipokrit. Sebab, massa yang ikut kampanye dengan kepura-puraan yang membungkus motif keinginan memperoleh selembar uang, berdampak buruk bagi eksistensi partai politik tersebut. Kita bisa membayangkan kolaborasi keduanya: Para elit partai berorasi mengenai program partai yang dipoles dengan janji-janji manis, yang bentuk realisasinya pun mereka tidak tahu. Di depan mereka adalah massa yang berteriak dan mengepalkan tangan, bertepuktangan dengan meriah, bukan karena mendengar pemaparan visi misi atau janji-janji Caleg. Mereka bertepuktangan untuk selembar uang sebagai imbalan.

Wabah hipokrit

Hipokrit adalah penyakit kejiwaan yang bisa mewabah. Dia bisa masuk ke dalam lorong-lorong rumah kita tanpa kita sadari. Semua orang mendadak berpura-pura miskin, hanya untuk memperoleh sekarung Raskin. Para Caleg berpura-pura hebat dengan jas mentereng, sepatu mengkilap, rambut licin, tapi saban hari waktunya habis di tempat sabung ayam, di salon mesum, tengah malam mereka duduk bersama di tengah lingkaran para pemabuk.

Orang-orang serentak berpura-pura lupa kalau janji pemerintah pada saat kampanye, ternyata hanya kibulan semata. Sebaliknya, pemerintah juga berpura-pura lupa kalau gaji mereka berasal dari keringat rakyat yang dulu memilihnya.

Hari ini kita bersiul riang, telah menerima amplop berisi uang dari seorang Caleg. Jangan-jangan kita berpura-pura lupa, kalau kemarin kita juga menerima bingkisan sarung diselipi selembar uang dan kartu nama, dari Caleg dari partai yang berbeda, namun dari Dapil yang sama, telah berkunjung ke rumah membawa bingkisan berisi seliter gula pasir bersama paket amplop beirisi uang.

Esok hari ketika kita terbangun, jangan-jangan kita lupa, semalam kita tidur dimana? Dan saat ini sedang di mana? Bersama siapa? Hingga kita lupa jalan pulang? hehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun