Anak-anak yang lahir di tahun 90-an barangkali ada yang sama denganku, merasakan indahnya momen ketika musim penghujan tiba. Saat itu, suara gemericik air sungai di musim hujan seperti memanggil, anak-anak SD, untuk berenang setelah pulang sekolah. Bangga rasanya jika sudah jago berenang, menaklukkan arus deras, atau mencapai dasar sungai yang lebih dalam.
Tentu, bermain di sungai juga penuh drama. Ada kalanya kaki terkena pecahan beling, tapi obatnya mudah---cukup oleskan getah batang pisang. Ada pula momen panik karena harus mengeringkan celana dan rambut sebelum tiba di rumah, agar tidak kena omelan orang tua. Sebagian besar orang tua melarang anak-anaknya berenang di sungai.
Di balik larangan itu, tersimpan cerita-cerita yang membuat kami, anak-anak, merasa was-was. Mereka bercerita tentang penghuni misterius sungai: yaitu buncul siluman kepala berambut panjang yang menarik manusia ke dasar, atau siluman ular kadut (ula kadut) yang tiba-tiba membuat aliran sungai menjadi deras, menghanyutkan siapa saja yang lengah.
Para siluman itu hanya bersarang di pikiranku semasa kecil namun tidak membuat takut kalau berenang ramai-ramai. Cerita-cerita ini seolah diperkuat oleh kisah nyata orang hanyut yang diberitakan media, meski tak pernah disebutkan bahwa silumanlah penyebabnya. Namun, setelah dewasa, aku sadar bahwa fear itu diciptakan bukan tanpa alasan. Sama seperti kepercayaan bahwa pohon besar dihuni dedemit agar manusia tidak menebangnya sembarangan, cerita siluman sungai juga berfungsi untuk menjaga anak-anak dari bahaya nyata di air.
Banjir bandang yang melanda Cirebon di awal tahun ini (2025) membawa ingatanku kembali ke cerita-cerita itu. Saya ikut berduka atas para korban yang terdampak bencana tersebut. Dan di tengah refleksi ini, izinkan saya meminta maaf kepada siluman ular kadut. Mungkin, sewaktu kecil saya salah paham, mengira luapan air secara tiba-tiba tanpa hujan adalah ulah siluman. Kini, saya paham bahwa luapan sungai bisa terjadi karena intensitas hujan yang tinggi di wilayah hulu sungai, tanggul jebol, atau tata kelola lingkungan yang buruk.
Untuk mereka yang masih percaya bahwa siluman adalah dalang di balik luapan sungai, mungkin ini saatnya refleksi. Menghubungkan bencana dengan hal mistis hanyalah bentuk logika mistika seperti yang dijelaskan Tan Malaka dalam buku madilog. Jika kita terus terjebak dalam logika mistis, kita tidak akan pernah menemukan solusi karena hanya membuat manusia mengabaikan akar masalah dan fokus pada hal yang tidak relevan.
Fenomena alam memang tak bisa dihindari, tapi dampaknya bisa kita siasati dengan mitigasi yang tepat. Bencana adalah pengingat bahwa menjaga lingkungan bukan hanya tugas pemerintah atau Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS). Ini adalah tanggung jawab kita bersama---setiap individu, komunitas, dan pemangku kebijakan. Dengan kesadaran kolektif dan langkah nyata, kita bisa meminimalisir risiko bencana sekaligus melindungi masa depan lingkungan kita
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI