Bagi Anda yang tinggal di Cirebon, mungkin dalam tiga pekan terakhir beranda media sosial Anda muncul berita tawuran antar remaja. Beberapa dari mereka ditangkap dan harus berurusan dengan pihak kepolisian karena aksi mereka yang meresahkan masyarakat. Di beberapa titik, bahkan ada korban jiwa alias mati. Sungguh ironis, mati dengan sia-sia di saat banyak orang berjuang mati-matian mencari rezeki agar tetap hidup.
Kejadian tawuran remaja sebenarnya bukan masalah baru. Sejak lama, peristiwa seperti ini terus berulang, bahkan mungkin sudah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka. Jika kita ingin mengaitkannya dengan sejarah, peperangan antar kerajaan kecil di masa lalu mungkin bisa disebut sebagai bentuk tawuran. Namun, tentu diperlukan riset lebih dalam untuk menentukan diksi yang tepat---apakah itu perang atau sekadar tawuran. Yang jelas, kita perlu memahami motif di balik aksi kekerasan tersebut.
Berdasarkan informasi yang beredar di media, tawuran remaja yang terjadi di Cirebon baru-baru ini didorong oleh persaingan eksistensi antar geng konten. Saya pribadi kurang begitu memahami apa itu geng konten, tetapi jika mendengar kata "konten", kita pasti langsung berpikir tentang suatu karya yang disampaikan melalui media digital. Bagi generasi tua yang tidak tumbuh dengan media sosial, alasan ini mungkin terdengar konyol. Namun, bagi anak muda zaman sekarang, eksistensi di dunia maya bisa menjadi hal yang sangat keren.
Lalu, siapa yang patut disalahkan ketika generasi muda kita hobi tawuran? Apakah pemerintah yang salah? Guru di sekolah? Atau justru keluarga?
Jika kita menyalahkan pemerintah mungkin wajar saja, karena mereka yang membuat kebijakan pendidikan bangsa ini. Jika guru yang disalahkan, bisa juga, karena tugas mereka bukan hanya mengajar dan membuat murid menjadi pintar, tetapi juga mendidik mereka agar beretika. Dan jika orang tua yang disalahkan, itu juga masuk akal, karena anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu di rumah daripada di sekolah.
Namun, sepertinya tidak bijak jika kita hanya sibuk mencari kambing hitam. Tawuran adalah masalah kompleks yang melibatkan banyak faktor, mulai dari lingkungan sosial, kurangnya pendidikan karakter, hingga pengaruh budaya digital yang tidak terarah.
Jika anak-anak muda kita memang ingin adu kekuatan, mengapa tidak menyalurkannya ke tempat yang lebih tepat? Banyak kreator konten di Indonesia yang sudah memberi inspirasi tentang bagaimana bertarung secara jantan dan sportif, seperti pertarungan one by one di ring tinju yang melibatkan anak Deddy Corbuzier dan Lord Vicky Prasetyo, atau tarung bebas seperti yang dilakukan Kaisar Kumis melawan Ferdian Paleka. Inspirasi sudah ada, tinggal bagaimana kita sebagai masyarakat mengadopsi konsep tersebut sebagai bagian dari solusi (problem solving) atas permasalahan .
Kita juga perlu menanamkan persepsi bahwa tawuran bukanlah tindakan gentleman. Justru, tawuran adalah tindakan pengecut yang tidak memiliki prinsip dan nilai atau. Tanamkan juga persepsi bahwa tawuran adalah sifat bencong bertulang lunak. Melalui lirik lagu Slank:
"Banyak pahlawan di tanah rencong
Melawan ketidakadilan...
Laki-laki jangan kayak bencong
Beraninya cuma tawuran..."
Slankkkkkk... Pisssss!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI