Mohon tunggu...
Erri Subakti
Erri Subakti Mohon Tunggu... Penulis - Analis Sosial Budaya

Socio Culture Analyst

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Arabika Papua Merekah Merah dari Zona Merah

3 Juli 2020   16:28 Diperbarui: 3 Juli 2020   16:38 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita bermalam di sini saja pak, tadi siang di pasar ada tembak-tembakan," ujar supir yang mengantar saya dengan tujuan ke Deiyai, Papua.

Kami malam itu memutuskan untuk menginap di Penginapan Dogiyai. Sebenarnya dari Dogiyai ke Deiyai, tinggal 1 jam perjalanan lagi. Tapi karena sudah malam dan siang tadi entah ada kejadian apa, sampai "tembak-tembakan" di pasar.

Deiyai memang sebuah Kabupaten di wilayah adat Mepago Papua, terletak di balik lembah Kamuu yang kiri kanannya masih hutan yang berundak-undak perbukitannya. Beberapa titik di Deiyai disebut orang-orang sebagai "red zone". Memang beberapa kali aparat dari unsur TNI menemukan bendera bintang kejora di atas perbukitan di sana.

Masuk ke penginapan, ternyata rekan saya yang lebih dulu ke daerah sini, yang semestinya kegiatannya di Deiyai, juga tengah beristirahat di Dogiyai.

Setelah menyegarkan diri, saya bergabung dengan para penghuni atau siapapun yang sedang ngobrol di ruang TV penginapan tersebut. Ternyata di situ salah satunya ada anggota Paskhas berpakaian sipil.

Dari anggota Paskhas itu saya mendapat informasi mengenai situasi keamanan di wilayah adat Mepago yang terdiri dari 3 kabupaten, yaitu, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai.

Perjalanan saya ke wilayah ini memang saya saya lakukan sendiri saja, untuk memonitor pelaksanaan kegiatan pelatihan budidaya para petani kopi di Papua.

Dari para Master Trainer budidaya kopi yang telah melakukan pelatihan kopi untuk para petani kopi di Papua saya mendapati keterangan bahwa banyak dari kebun kopi masyarakat yang sudah ditebangi pohon kopinya, atau kebunnya terbengkalai. Satu lahan kebun paling banyak hanya tinggal kurang dari 50 pohon saja. Bahkan ada yang cuma belasan pohon.

Padahal di wilayah adat Mepago ini pada masa lalu merupakan sentra penghasil kopi yang hasilnya bisa menghidupi para penduduk Papua. Namun seiring waktu, tanpa transfer ilmu dan manajemen pengelolaan industri kopi, hasil panen para petani mulai merosot harganya. Tanaman kopi menjadi tidak bisa diandalkan sebagai mata pencaharian utama.

Karena itu misi kami saat itu untuk kembali menggairahkan budidaya tanaman kopi Papua agar hasil produksinya meningkat dan memberikan penghasilan yang baik bagi Orang Asli Papua.

 Beberapa kendala di lapangan tidak bisa terduga jika kita melakukan kegiatan seperti ini di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun