Mohon tunggu...
Erri Subakti
Erri Subakti Mohon Tunggu... Penulis - Analis Sosial Budaya

Socio Culture Analyst

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dear Ri, Di Mana Bumi Dipijak Di Situ Langit Dijunjung

3 April 2012   03:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:06 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini merupakan tulisan serial catatan harian seorang Socio-cultural Analyst. Tanpa bermaksud mengesankan ‘ke-aku-an’ namun dengan cara menulis seperti menulis ‘diary’ saya harap bisa meng-eksplorasi berbagai ide dan gagasan yang ada di kepala saya yang belum sempat tertuang menjadi sebuah artikel. (Bagian 3) [caption id="attachment_179844" align="aligncenter" width="320" caption="Sungai Barito kala senja. dok. pribadi"][/caption] Dear Ri, Aku telah sebutkan bahwa memang di site ini merupakan daerah yang paling rawan dari seluruh site yang dikelola oleh perusahaan. Sudah bukan hal yang aneh jika banyak manajer menghindar untuk ditempatkan di site ini. Aku ingat ada manajer CD dari wilayah lain yang ingin ditempatkan di sini, dalam hitungan jam kondisi kesehatannya menurun, keesokan harinya ia tidak masuk kantor karena sakit. Atau sudah sering terjadi banyak manajer yang ditempatkan di sini hanya bertahan beberapa bulan saja. Meskipun manajer tersebut adalah manajer yang memiliki banyak pengalaman di perusahaan besar sebelumnya. Ada yang pulang ketika baru bekerja kurang dari seminggu saja, malah ada yang hanya bertahan kurang dari sehari saja. Salah satu hal yang menakutkanku, selain binatang beracun seperti ular atau kalajengking besar di wilayah kerjaku ini, bukanlah manusia melainkan 'spesies Monster..!!!' Ya... tentang 'monster' ini pernah kuceritakan di artikel Spesies Monster di Kalimantan. Tapi biar bagaimana pun aku tetap enjoy kok, seperti kata pepatah "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung...." maka di mana pun aku ditempatkan, sebisa mungkin aku 'lebur' dengan lingkungan sekitar. Dear Ri, Sebelumnya aku telah menceritakan tentang "bantuan dan pendampingan" (assistance) untuk departemen Community Development di perusahaan ini. Salah satu artikel yang pernah kutulis tentang itu di Kompasiana ini berjudul Paradigma Baru CSR. Sebenarnya posisi pekerjaanku ini tergolong unik secara struktural. Karena aku menjadi breaktrough atas persoalan-persoalan yang bergejolak di level warga masyarakat desa dan para buruh perusahaan. Hal-hal yang seringkali tidak terungkap di permukaan aku gali lebih mendalam, dan hasil laporanku itu langsung bisa menembus ke level direktur dan tidak tertahan secara hirarki di level GM (General Manager). Dalam struktur kerja yang memiliki hirarki bertakik-takik di sebuah perusahaan besar, persoalan yang terjadi di bawah terkadang mentok hanya ditangani sampai manajer saja atau GM paling tinggi. Sebisa mungkin berbagai langkah dilakukan untuk mengatasi persoalan yang berkembang dan tidak harus ditangani sampai ke level MD (Managing Director). Namun sistem organisasi kerja yang ketat seperti ini memliki kelemahan dimana persoalan yang terungkap ke atas kadang sudah bias dari akar persoalannya itu sendiri. Di sinilah tugas saya dalam menggali akar masalah yang terjadi di level 'akar rumput' untuk bisa disampaikan tembus ke MD. Analisa saya menjadi 'second opinion' sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan langkah solutif. Itu sebabnya aku seringkali berada di tengah-tengah demonstrasi warga masyarakat atau demonstrasi buruh untuk mengetahui lebih dalam apa sebenarnya yang ada di hati para demonstran. Karena tuntutan-tuntutan yang diangkat ke permukaan seringkali hanyalah akibat dari akar masalah yang sesungguhnya. Ya, sudah menjadi resiko pekerjaanku menghadapi warga masyarakat yang marah-marah, berdemonstrasi, dan menjadi pendengar setia 'curhat' mereka. Aku menjadi lapis terluar dari perusahaan dalam menghadapi situasi-situasi rawan seperti ini. Aku teringat di minggu pertama aku bekerja di sini, aku harus berhadapan sendirian saja dengan puluhan warga masyarakat yang marah-marah dengan tuntutannya kepada perusahaan. Aku sebisa mungkin menenangkan mereka, mendengarkan apa tuntutannya, apa masalahnya, bahkan untuk semakin meredam amarah mereka, aku ajak mereka untuk makan bersama di kantin perusahaan. Redakah kemarahan mereka? Tidak. Sambil makan, amarah mereka dan segala keluhan-keluhannya atas perusahaan terus dikeluarkan. Begitu pun setelah mereka selesai makan, mereka terus mengancam ini-itu kepada perusahaan. Dan hanya aku sendiri yang terus menahan amarah mereka. Paling tidak menahan 'sesuatu' yang terselip di balik jaket para demonstran agar tidak sampai keluar dari 'sarung'nya. Untunglah di sore hari tim manajemen perusahaan bisa mengambil keputusan yang meredakan kemarahan para demonstran. Namun tentu saja 'kasus' ini tidak selesai sampai di sini, masih ada sekuel lanjutan untuk betul-betul bisa menyelesaikan konflik di antara warga (kelompok) masyarakat dan perusahaan. Bukan sekali dua hal seperti di atas terjadi, dan tentu saja aku selalu berada di tengah-tengah para demonstran. Sangat beresiko memang, namun inilah pilihan pekerjaan yang aku harus jalani. Aku percaya jika kita memang tulus tanpa ada maksud mengambil keuntungan pribadi dalam pekerjaan, semua akan baik-baik saja. Malah akhirnya aku bisa akrab dengan warga masyarakat desa sekitar dan para buruh di perusahaan ini. Aku menjadi tempat 'curhat' mereka atas apa yang mereka hadapi. Dari curhat para buruh perusahaan ini pernah aku tuliskan dalam artikel Mendaki Status Sosial, Bangkit dari Kemiskinan dan Memberi Makan 'Siluman,' Buruh Kelaparan. Dear Ri, Apa yang kulakukan seperti sekilas contoh di atas itu adalah langkah ketiga setelah assessment dan assistance (bantuan & pendampingan). Langkah ini disebut sebagai Advocacy, yaitu bagaimana kita malakukan manajemen konflik melalui komunikasi yang efektif. Untuk mengakomodasinya kita perlu melalukan:

  • Fasilitasi Hubungan dengan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Engagement Facilitation)
  • Fasilitasi Resolusi Konflik (Alternative Dispute Resolution/ADR)
  • Pengembangan Strategi Komunikasi CD (CD Communication Strategy Development)
  • Pelaksanaan Strategi Komunikasi CD (CD Communication Strategy Execution)
  • Kontribusi dalam Penyebaran Wacana dan Keterampilan CD (Contribution to CSR Discourse and Skills)

Dan satu hal lagi, jika aku menemukan sesuatu yang janggal dalam langkah operasional CD perusahaan yang bisa menjadi bom waktu di kemudian hari, menimbulkan konlik yang lebih besar antara warga/kelompok masayarakat dan perusahaan, perlu juga membuat : Perencanaan Penutupan Operasi (Exit Strategy Planning). Misalnya praktek CD selama ini yang dilakukan yang mengarah pada pemberian 'dana-dana siluman' kepada oknum kelompok masyarakat, tentu sangat berpotensi menjadi masalah besar di masa depan. Dan untuk menghentikan 'kebiasaan' ini diperlukan strategi yang bisa meminimalisir gejolak yang akan muncul di masyarakat. (bersambung...) *Sebelumnya : Dear Ri, Assessment Itu Seperti 'Pedekate' Dear Ri, Kalau Sudah Maju Pantang Mundur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun