Mohon tunggu...
Tomy Bawulang
Tomy Bawulang Mohon Tunggu... Human Resources - Pembaca

Pendengar, Penyimak, , dan Perenung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujian Nasional: Refleksi Kebingungan Pemerintah dan Pemberontakan Guru

13 April 2012   22:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:38 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pemerintah berkeras hati untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional tahun ini, meski penolakan Ujian Nasional telah di kumandangkan bertahun tahun oleh berbagai pihak. Ujian Nasional adalah isu pendidikan yang paling kontroversional di Negara kita setidaknya pada dekade terakhir. Pro kontra tentang Ujian nasional pun sudah terlalu sering menjadi bahan diskusi dan seminar pendidikan. Kenyataannya Pemerintah tetap tak bergeming, malah terkesan tak mau akomodatif terhadap aspirasi yang berkembang dengan menaikan standar kelulusan setiap tahun.

Argumen yang paling mendasar yang digunakan pemerintah untuk menjadi dasar pelaksanaan Ujian Nasional adalah bahwa sebagai bangsa kita butuh evaluasi tersandard untuk dapat mengukur kualitas pendidikan kita. Argumen ini menurut saya justru mengisyaratkan ketidakpahaman pemerintah terhadap substansi evaluasi dalam pendidikan. Evaluasi secara substantif bertujuan untuk meningkatkan kualitas. Artinya harus ada tindakan follow up untuk perbaikan setelah hasil evaluasi didapatkan. Yang terjadi selama ini tidaklah demikian. Ujian Nasional sangat Judgemental dan pemerintah seakan tidak peduli dengan siswa yang gagal dalam ujian tersebut. Pendekatan follow up untuk peningkatan mutu tidak spefisik dan menyentuh langsung kebutuhan siswa. Malah yang dimaksud dengan peningkatan mutu dipahami pemerintah dengan menaikan standar kelulusan dari tahun ke tahun dan memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa dengan dinaikannya standar kelulusan berarti kualitas pendidikan dapat meningkat. Sehingga secara explisit kita dapat memahami bahwa defenisi kualitas pendidikan bagi pemerintah adalah sebatas menjawab soal ujian dengan benar. Pemerintah lantas bisa berkilah bahwa program sertifikasi guru adalah upaya untuk peningkatan mutu sehingga tidak ada ruang demokrasi bagi guru untuk mempertanggung jawabkan kegagalan siswa dalam ujian nasional. Jika siswa gagal maka gurulah yang paling bertanggung jawab. Ini adalah bentuk nyata dari melempar tanggung jawab kegagalan pendidikan kepada para guru. Pemerintah seakan lupa bahwa program sertifikasi guru sampai saat ini belum dievaluasi secara holistic. Lebih miris lagi, di beberapa daerah, program sertifikasi guru justru dijadikan alasan untuk pemangkasan tunjangan kinerja. Guru seakan jadi objek permainan politik anggaran.

Fakta tentang kecurangan pada Ujian Nasional dapat dipahami dari dua sisi. Di satu sisi kecurangan Ujian Nasional semestinya dimaknai sebagai indikator pembangkangan dan pemberontakan guru dan sekolah terhadap kebijakan Ujian Nasional. Pemerintah harus berbesar hati dan bijaksana memahami fenomena ini. Setiap tahun pengawasan terhadap Ujian Nasional ditingkatkan. Namun faktanya tetap saja kecurangan terjadi. Bukankah ini pertanda bahwa guru dan sekolah sedang membangkang dan berontak? Sebab jika benar benar guru dan sekolah sudi dan rela dengan system evaluasi model Ujian Nasional, Pemerintah tidak perlu susah susah membiayai pengawasan Ujian nasional ini secara massive dengan melibatkan banyak pihak. Nyatanya pada saat evaluasi reguler guru dapat mengawasi ujian dengan baik, tanpa polisi, LSM, wartawan, pengawas silang, pihak universitas, dll seperti yang terjadi selama Ujian Nasional. Lantas kenapa saat Ujian Nasional dengan pengawalan berlapis justru kecurangan terjadi? Yang berfikir logis akan setuju bahwa guru dan sekolah sedang berontak.

Disisi lain, kita pun pantas bertanya, apa benar pemerintah disemua level mau Ujian Nasional dilaksanakan secara jujur? Ini pertanyaan yang reflektif dan menggelitik karena jika kita mau jujur, sebenarnya kita sedang memainkan dagelan sebab cerita tentang kecurangan Ujian Nasional adalah cerita klasik yang sudah di ketahui oleh banyak orang. Kecurangan Ujian Nasional adalah titik klimaks dari lingkaran setan dalam sistem politik pendidikan kita . Coba bayangkan jika tingkat ketidak lulusan mencapai 95 persen di seluruh Indonesia? Apa Menteri Pendidikan kita tidak malu dan terancam dicopot? Jika terjadi di propinsi, apa Gubernur tidak malu? apa Kepala Dinas Pendidikan tidak terancam di copot? Jika di kabupaten, apa Bupatinya tidak malu? Apa Kepala Dinasnya tidak terancam dicopot? Apa Kepala sekolah tidak malu, terancam dicopot dan dimutasi? Maka lingkaran dan konflik kepentingan inilah sebenarnya yang juga merupakan pemicu utama kecurangan dalam Ujian Nasional, bukan semata mata terletak pada alasan menghindari kegagalan anak didik. Hal ini diperburuk oleh fakta bahwa sampai saat ini capaian dalam Ujian Nasional masih dianggap sebagai barometer utama keberhasilan pendidikan dasar dan menengah di daerah. Kepala Daerah akan sangat bangga dan dianggap berhasil dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan apabila tingkat kelulusan mencapai 100 persen. Sehingga kelulusan pada Ujian Nasional bukan hanya soal kepentingan siswa, ada berbagai kepentingan dibalik itu. Fenomena ini semakin memperjelas bahwa sebenarnya pemerintah terjebak pada kondisi dilematis karena kebingungan dan ketidak pahaman terhadap substansi evaluasipendidikan. Disatu sisi pemerintah menginginkan peningkatan mutu yang terukur dan terstandar secara nasional, disisi yang lain Pemerintah kebingungan mencari format Ujian Nasional yang tepat.

Tanpa disadari system pelaksanaan Ujian Nasional saat ini justru menjadi kontra-produktif dengan tujuan pendidikan nasional seperti tercantum dalam Undang Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” Pertanyaannya adalah Apakah Ujian Nasional saat ini dengan segala kecurangan yang sudah terbangun secara sistematis merefleksikan tujuan pendidikan ini? Menurut saya, Pemerintah sendiri bingung memahami tujuan dari pelaksanaan Ujian Nasional. Nyatanya, meskipun sudah mengantongi hasil Ujian Nasional, siswa pun harus menjalani tes yang berbeda ketika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Jika melamar pekerjaan, mereka pun harus di uji dengan ujian yang lain. Dengan kata lain Ujian Nasional saat ini tidak memiliki tujuan yang jelas dan hanya berfungsi untuk menghakimi siswa: lulus atau tidak. Bagi yang lulus pun hasil Ujian Nasional belum menjadi jaminan keberhasilan masa depannya sementara bagi yang tidak lulus ujian nasional meninggalkan trauma seumur hidup.

Semestinya jika pemerintah berniat melakukan evaluasi terhadap mutu pendidikan, evaluasi haruslah dilakukan sebagai satu rangkaian proses perbaikan mutu. Tujuan evaluasi bukanlah berakhir pada hasil lulus dan tidak lulus tetapi lebih berorientasi pada memahami kelemahan sistemik dalam pendidikan secara holistic untuk kemudian menemukan solusinya. Hasil evaluasi kemudian harus menjadi bahan utama perumusan kebijakan strategis untuk peningkatan pendidikan. Sehingga evaluasi tidak dilakukan hanya untuk mempertahankan ritual tahunan dengan anggaran yang bombastis tanpa tujuan yang jelas.

Dengan mengubah orientasi Ujian Nasional menjadi evaluasi kualitas yang tidak judgmental, maka pihak sekolah dan guru tidak perlu kuatir akan hasil yang dicapai siswa karena jika siswanya masih kurang berhasil maka guru memiliki ruang demokrasi untuk mengemukakan kendala yang mereka hadapi dilapangan sehubungan dengan hasil belajar siswa tersebut. Pemerintah, selanjutnya wajib menindak lanjutinya sebagai upaya perbaikan. Dengan demikian tidak ada pihak yang merasa dipermalukan apalagi terancam. Konsekuensi secara psikologis terhadap siswa pun akan lebih positif dan konstruktif.

Belajar dari Kemajuan Pendidikan di Finlandia sebagai negara dengan system pendidikan termaju di dunia, ada tiga hal terkait Ujian Nasional dan evaluasi kualitas yang cukup mengagetkan saya. Pertama, Finlandia tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional. Evaluasi mutu pendidikan sepenuhnya dipercayakan kepada para guru sehingga negara berkewajiban melatih dan mendidik guru guru agar bisa melaksanakan evaluasi yang berkualitas. Setiap akhir semester siswa menerima laporan pendidikan berdasarkan evaluasi yang sifatnya personal dengan tidak membandingkan atau melabel para siswa dengan peringkat juara seperti yang telah menjadi tradisi pendidikan kita. Mereka sangat meyakini bahwa setiap individu adalah unik dan memiliki kemampuan yang berbeda beda. Kedua, Finlandia tidak mengenal kata akuntabilitas dalam system mereka. Mereka, sekali lagi sangat menghormati dan mempercayai guru dalam melaksanakan tugasnya. Untuk memastikan ini pemerintah bukan hanya membayar gaji guru dengan mahal tapi juga menunjang mereka dalam program peningkatan professional yang berkelanjutan. Sangat kontras dengan pendekatan kita. Pemerintah berharap dengan program sertifikasi guru maka urusan peningkatan kualitas diharapkan bisa tuntas. Tidak heran ketika permasalahan kualitas ini masih menjadi permasalahan nasional pemerintah selalu berlindung dibalik program sertifikasi guru. Guru dipersalahkan karena sudah dibayar namun tetap saja tidak profesional (seperti kritik SBY di peringatan hari Guru yang lalu).Tidak demikian di Finlandia. Tidak heran di Finlandia profesi guru adalah profesi yang paling terhormat. Dokter justru berada dibawah peringkat guru. Ketiga, Finlandia tidak menerapkan system inspeksi dan pengawasan ketat terhadap sekolah. Sekolah dianggap sebagai institusi yang sangat terhormat dan dipercaya dalam pengelolaan pendidikan. Yang mencengangkan saya, dengan system yang begitu fleksibel dan dilandasi kepercayaan seperti ini Finlandia justru mengalami kemajuan yang sangat pesat pendidikannya dan selalu menempati posisi teratas ranking PISA.

Kita memang memerlukan evaluasi sebagai alat ukur kualitas pendidikan kita. Untuk bisa seperti Finlandia saat ini rasanya sulit, tapi setidaknya masih ada perubahan yang bisa kita lakukan agar kita benar benar mendapatkan manfaat dari Ujian Nasional secara maksimal.Lakukan Ujian Nasional bukan sebagai penentu lulus dan tidak tetapi benar benar sebagai alat ukur kualitas secara keseluruhan dan mapping kualitas secara regional sebagai bahan evaluasi sistemik. Konsekuensinya adalah perbaikan penyelenggaraan pendidikan bukan menghakimi anak didik dan juga para guru yang sudah bersusah payah mendidik mereka selama bertahun tahun. Setelah kurun waktu yang ditentukan mestinya anak didik harus direlakan untuk menamatkan pendidikannya tanpa harus di belenggu Ujian Nasional. Kelulusan mereka lebih ditentukan oleh pengguna setelah mereka menamatkan pendidikan di tingkat SMA/SMK sehingga siswa akan lebih memiliki kesempatan untuk menentukan masa depannya. Contohnya, apabila siswa ingin melanjutkan kuliah di kedokteran maka wajib baginya untuk memenuhi standar fakultas kedoteran dalam bidang/ mata pelajaran tertentu. Atau jika siswa ingin langsung bekerja sebagai Mekanik maka nilai yang diperoleh dalam bidang yang tidak relevan bukan menjadi masalah baginya apabila memang pihak pengguna tidak mewajibkannya. Dengan demikian siswa akan lebih memahami kebutuhan belajarnya yang pada akhirnya akan mendorong siswa untuk secara sadar belajar lebih giat dan bertanggung jawab terhadap peningkatan kemampuannya. Perubahan orientasi evaluasi seperti initentunya tidak menjadi jaminan akan pencapaian semua tujuan yang tercantum dalam undang undang system pendidikan kita tapi setidaknya akan membuat dunia pendidikan kita dan anak anak didik kita lebih demokratis dan bertanggung jawab, dua kata pamungkas dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun