Lantas, cukup kuatkah alasan biaya mahal dan praktik politik uang yang masif sebagai dasar untuk mengembalikan Pilgub kepada DPRD? Apakah tidak ada lagi cara untuk menekan biaya yang mahal itu melalui perbaikan regulasi dan mekanisme penyelenggaraannya?
Penting dicatat, politik uang bukanlah sekedar urusan jumlah, tetapi juga moralitas dan dampaknya di kemudian hari. Premis dasarnya simpel saja. Pemilihan pemimpin di level manapun, jika sudah diawali dan dibarengi dengan praktik politik uang, berapapun besarnya dan bagaimanapun bentuknya, sama saja. Ini adalah kejahatan elektoral, praktik politik tuna-adab, yang pasti bakal beranak pinak di kemudian hari.
Maka sangat penting wacana ini dibedah dan diuji terlebih dahulu dengan membuka ruang seluas-luasnya bagi setiap elemen masyarakat untuk berbicara. Pemerintah dan DPR jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan, mengingat di sisi negatifnya, Pilkada langsung termasuk Pilgub juga telah memberikan sisi positif dalam kerangka mengonsolidasikan demokrasi, mewujudkan hakikat kedaulatan rakyat, peranserta publik yang lebih bermakna, dan akuntabilitas para kepala daerah-wakil kepala daerah terpilih.
Perihal biaya yang besar memang tidak bisa dipungkiri. Pilkada menghabiskan biaya yang sangat besar, baik yang dikeluarkan oleh APBD untuk membiayai penyelenggaraan maupun yang digelontorkan para peserta (termasuk partai politik pengusung tentu saja) sebagai political cost.
Tetapi hal itu sebetulnya bukan keniscayaan. Setidaknya, biaya Pilkada sesungguhnya bisa ditekan sedemikian rupa, dan karenanya tak harus sebesar atau semahal seperti saat ini atau yang baru saja berlalu. Sedikitnya ada tiga langkah strategis yang dapat dilakukan untuk menekan biaya Pilkada.
Efesiensi Biaya PenyelenggaraanÂ
Pertama merumuskan ulang regulasi dan ketentuan-ketentuan teknis penyelenggaraan, khususnya terkait aspek-aspek program dan kegiatan yang berdampak pada keluarnya pembiayaan yang besar atau mahal.
Dari sisi pembiayaan oleh APBD. Beberapa aspek program dan kegiatan itu misalnya rapat-rapat dan perjalanan dinas penyelenggara Pemilu dan jajaran kesekjenan dan kesekretariatan (terutama KPU dan Bawaslu di seluruh tingkatan).
Mulai dari launching tahapan, rapat-rapat kordinasi, bimtek-bimtek, penguatan kelembagaan internal penyelenggara dan kegiatan-kegiatan yang berimplikasi pada pembiayaan akomodasi dan perjalanan dinas.
Kemudian kegiatan sosialisasi yang berimplikasi selain pada pengadaan berbagai Alat Peraga Sosialisasi (APS), juga akomodasi kegiatan dan perjalanan dinas. Dalam konteks ini mengoptimalkan penggunaan berbagai platform media sosial yang dimiliki KPU dan KPU Daerah serta jajarannya di bawah bisa lebih menghemat anggaran tanpa harus mengurangi volume dan dampak positif yang diharapkan dari kegiatan sosialisasi.
Kemudian dari sisi kebutuhan peserta Pilkada. Penghematan anggaran bisa dilakukan antara lain dengan membatasi lebih ketat lagi pengadaan Alat Peraga Kampanye (APK) dan barang cetak lainnya. Dan mengalihkannya pada pemanfaatan berbagai platform media sosial yang dimiliki peserta Pilkada sebagai media kampanye.Â
Penegakan Hukum
Kedua, penegakan hukum terhadap semua bentuk pelanggaran elektoral oleh peserta maupun pemilih yang telah memicu lahirnya biaya tinggi (high cost) seperti mahar politik (political dowry) dan politik uang (money politics).