Tinggal dalam hitungan jam, Pilkada serentak bakal memasuki fase puncak, yakni pemungutan dan penghitungan suara, 27 November 2024. Para pegiat kepemiluan dan berbagai eksponen masyarakat sipil lainnya yang peduli jauh-jauh hari sudah getol menyuarakan early warning perihal salah satu ancaman serius elektoral yang diduga bakal kembali marak pada Pilkada serentak 2024 ini, yakni praktik politik uang (money politic).Â
Fakta Anomali : Masyarakat Permisif dan Mendorong Partisipasi
Peringatan dini itu penting menjadi perhatian semua pihak, khususnya para penegak hukum kepemiluan dan civil society yang aktif mengadvokasi perhelatan Pilkada terutama karena ada satu fakta anomali yang memprihatinkan. Bahwa masyarakat cenderung permisif terhadap politik uang.Â
Simpulan itu antara lain dibuktikan dengan indikator dari temuan sejumlah riset yang menerangkan bahwa money politik telah mendorong peningkatan partisipasi pemilih.Â
Hasil riset pasca Pemilu 2019 lalu mislanya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis data sebanyak 48 persen masyarakat beranggapan jika politik uang hal yang biasa. Sementara itu hasil riset kuantitatif yang dilakukan Martinus Laia dkk di FISIP Universitas Sumatera Utara (Jurnal Perspektif, 2021) menyimpukan bahwa pengaruh politik uang terhadap tingkat partisipasi pemilih adalah nyata dan signifikan.Â
 Simpulan riset yang sama juga ditemukan dalam sejumlah Pilkada. Misalnya dalam Pilkada Kabupaten Wajo 2018. Hardianto Hawing dkk (Journal of Social Politics and Governance, 2020) menyimpulkan bahwa variabel politik uang berpengaruh sebesar 53% terhadap tingkat partisiapsi politik. Lantas, apakah dengan demikian politik uang bisa ditoleransi karena ia dapat mendorong para pemilih untuk datang ke TPS dan menggunakan hak suaranya ?Â
Dalam catatan pengalaman saya sendiri, temuan-temuan kuantitatif itu terkonfirmasi hampir dalam setiap momen ketika memberikan materi sosialisasi dan pendidikan pemilih yang diselenggarakan oleh KPU atau Bawaslu di daerah. Meski diekspresikan dengan cara guyon atau kelakar, sebagian peserta memang terlihat permisif dengan praktik money politic. Â Â
Norma dan Pemahaman Politik Uang
Dalam salah satu bukunya, Mada Sukmajati dan Edward Aspinall (2015) mendefinisikan politik uang sebagai pemberian uang tunai, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya (seperti proyek atau penyediaan pekerjaan) yang didistribusikan oleh politisi termasuk di dalamnya keuntungan yang ditujukan untuk individu (misalnya amplop berisi uang tunai) dan kepada kelompok masyarakat (misalnya lapangan sepak bola untuk pemuda).Â
 Tujuan pemberian uang dan/atau berbagai materi itu adalah untuk memengaruhi pilihan sikap para pihak penerima agar sesuai dengan kepentingannya, dan tentu saja menguntungkan si pemberi secara elektoral.Â
Definisi yang digunakan dan tujuan politik uang yang dikemukakan di atas sengaja dinarasikan lebih umum agar frasa money politic ini difahami lebih utuh dan menyeluruh sesuai fakta-fakta fenomenologis yang terjadi.Â
Secara normatif, pengaturan perihal politik uang di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan/Pilkada tertuang dalam Pasal 73 (ketentuan larangan) dan Pasal 187A (ketentuan sanksi pidana).
Didalam Pasal 73 ayat (1) dengan tegas diatur, bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Pelanggaran terhadap larangan ini dapat dikenai sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota (Ayat 2, Pasal 73).
Kemudian didalam ayat 4 pasal yang sama dinyatakan, bahwa selain calon atau pasangan calon, anggota partai politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk tujuan-tujuan (opsional) sbb :
Pertama, memengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih. Kedua, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah. Ketiga, memengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.
Sementara itu, sejauh ini pemahaman publik mengenai politik uang cenderung hanya fokus pada transaksi-transaksi yang terbatas. Dari sisi materi misalnya, politik uang kerap dipersepsi hanya merujuk secara terbatas pada materi berupa uang. Padahal dalam norma perundangan terkait politik uang di dalam UU 10 Tahun 2016 sebagaimana dikutip diatas, frasa lengkapnya ditulis "...menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya..." Â Jadi, jelas tidak hanya terbatas berupa uang.
Kemudian berkenaan dengan pihak penerima dalam konteks politik uang ini, publik cenderung hanya mengarahkan persepsi pada pemilih. Padahal transaksi-transaksi money politic juga bisa melibatkan penyelenggara (KPU dan Bawaslu serta jajarannya hingga ke badan adhoc di Kecamatan dan Desa/Kelurahan) sebagai pihak penerima. Target pemberi adalah memengaruhi penyelenggara agar membuat keputusan atau mengambil kebijakan yang menguntungkan si pemberi secara elektoral.
Kejahatan Elektoral
Beralas ulasan diatas jelas, bahwa money politic termasuk dalam kategori tindak pidana Pemilu yang diatur di dalam UU 10 Tahun 2016. Maka sanksi terhadap para pelaku politik uang, selain sanksi administratif pembatalan pencalonan juga sanksi pidana. Pemberi dan penerima diancam dengan kurungan pidana dan/atau denda.
Ancaman pidana itu tertuang didalam Pasal 187A ayat (1), yakni berupa pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Didalam ayat 2-nya ditegaskan pula, bahwa pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji politik uang tersebut.
Lebih dari sekedar tindak pidana yang lebih bersifat prosedural normatif, praktik politik uang sejatinya juga merupakan kejahatan jika dilihat dari sisi hakikat perilaku dan dampak yang ditimbulkannya.
Politik uang pada hakikatnya adalah tindakan penyuapan, jual-beli suara untuk memenangi kontestasi memperebutkan kekuasaan. Dalam kaidah Islam misalnya, semua tindakan suapmenyuap tidak dapat dibenarkan, haram hukumnya. Saya yakin, dalam ajaran agama manapun, praktik suap-menyuap adalah perilaku jahat yang tidak dapat dibenarkan.
Sebuah hadits diriwayatkan Imam Thabrani mengingatkan bahwa "Penyuap dan orang yang disuap tempatnya di dalam neraka." Dalam hadits lain (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Tsauban) dinyatakan pula, bahwa "Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap, dan juga orang yang menjadi perantara di antara keduanya."Â
Dalam spririt yang setara, demokrasi yang menjadi dasar pijak di atas mana Pilkada diselenggarakan juga memiliki nilai-niali luhur yang wajib dijunjung tinggi. Kesetaraan perlakuan, kejujuran bersikap, keadilan dan tunduk patuh pada aturan hukum mislanya, jelas merupakan nilai-nilai luhur demokrasi yang ditabrak oleh para pelaku money politic.
Terakhir, selain secara hakikiyah merupakan kejahatan elektoral, money politic juga potensial melahirkan berbagai dampak buruk di kemudian hari. Beranak pinak. Korupsi dan bentuk-bentuk abuse of power lainnya oleh para kepala daerah atau wakil kepala daerah terpilih pelaku money politic pasca mereka dilantik karena didesak oleh kebutuhan mengembalikan modal segera merupakan salah satu contoh masif yang sudah sering kita saksikan.  Â
Jadi, meski berpengaruh "positif" terhadap peningkatan partisipasi pemilih dalam Pilkada, money politic tetap saja merupakan kejahatan, dan karenanya praktik-praktik busuk ini wajib dicegah!
Analisis Pilkada lainnya :
https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/6729f32ded64157fc36a0ac2/pesta-demokrasi-post-gen-z
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H