Didalam Pasal 73 ayat (1) dengan tegas diatur, bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Pelanggaran terhadap larangan ini dapat dikenai sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota (Ayat 2, Pasal 73).
Kemudian didalam ayat 4 pasal yang sama dinyatakan, bahwa selain calon atau pasangan calon, anggota partai politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk tujuan-tujuan (opsional) sbb :
Pertama, memengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih. Kedua, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah. Ketiga, memengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.
Sementara itu, sejauh ini pemahaman publik mengenai politik uang cenderung hanya fokus pada transaksi-transaksi yang terbatas. Dari sisi materi misalnya, politik uang kerap dipersepsi hanya merujuk secara terbatas pada materi berupa uang. Padahal dalam norma perundangan terkait politik uang di dalam UU 10 Tahun 2016 sebagaimana dikutip diatas, frasa lengkapnya ditulis "...menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya..." Â Jadi, jelas tidak hanya terbatas berupa uang.
Kemudian berkenaan dengan pihak penerima dalam konteks politik uang ini, publik cenderung hanya mengarahkan persepsi pada pemilih. Padahal transaksi-transaksi money politic juga bisa melibatkan penyelenggara (KPU dan Bawaslu serta jajarannya hingga ke badan adhoc di Kecamatan dan Desa/Kelurahan) sebagai pihak penerima. Target pemberi adalah memengaruhi penyelenggara agar membuat keputusan atau mengambil kebijakan yang menguntungkan si pemberi secara elektoral.
Kejahatan Elektoral
Beralas ulasan diatas jelas, bahwa money politic termasuk dalam kategori tindak pidana Pemilu yang diatur di dalam UU 10 Tahun 2016. Maka sanksi terhadap para pelaku politik uang, selain sanksi administratif pembatalan pencalonan juga sanksi pidana. Pemberi dan penerima diancam dengan kurungan pidana dan/atau denda.
Ancaman pidana itu tertuang didalam Pasal 187A ayat (1), yakni berupa pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Didalam ayat 2-nya ditegaskan pula, bahwa pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji politik uang tersebut.
Lebih dari sekedar tindak pidana yang lebih bersifat prosedural normatif, praktik politik uang sejatinya juga merupakan kejahatan jika dilihat dari sisi hakikat perilaku dan dampak yang ditimbulkannya.
Politik uang pada hakikatnya adalah tindakan penyuapan, jual-beli suara untuk memenangi kontestasi memperebutkan kekuasaan. Dalam kaidah Islam misalnya, semua tindakan suapmenyuap tidak dapat dibenarkan, haram hukumnya. Saya yakin, dalam ajaran agama manapun, praktik suap-menyuap adalah perilaku jahat yang tidak dapat dibenarkan.
Sebuah hadits diriwayatkan Imam Thabrani mengingatkan bahwa "Penyuap dan orang yang disuap tempatnya di dalam neraka." Dalam hadits lain (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Tsauban) dinyatakan pula, bahwa "Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap, dan juga orang yang menjadi perantara di antara keduanya."Â
Dalam spririt yang setara, demokrasi yang menjadi dasar pijak di atas mana Pilkada diselenggarakan juga memiliki nilai-niali luhur yang wajib dijunjung tinggi. Kesetaraan perlakuan, kejujuran bersikap, keadilan dan tunduk patuh pada aturan hukum mislanya, jelas merupakan nilai-nilai luhur demokrasi yang ditabrak oleh para pelaku money politic.