Pertama, pernyataan itu terkesan seperti hendak "cuci tangan" dengan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu termasuk pada peristiwa 1998. Setidaknya bisa ditafsirkan sebagai siasat untuk mereduksi deretan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan mengkategorisasi kedalam pelanggaran HAM berat dan ringan. Padahal desakan publik (sudah sejak kepemimpinan SBY dan Jokowi) semua kasus pelanggaran HAM masa lalu diusut tuntas dengan seadil-adilnya.
Kedua, pernyataan itu juga cenderung nir-empati terhadap kekuarga korban (khususnya peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di sepanjang tahun 1997-1999) yang hingga saat ini terus mencari keadilan yang belum mereka dapatkan. Seperti yang dilakukan antara lain oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melalui Aksi Kamisan, yang sudah belasan tahu dilakukan.
Ketiga, pernyataan Yusril juga terkesan jadi kontradiksi dengan inisiasi Prabowo membentuk secara terpisah Kementerian Hak Asasi Manusia dari nomenklatur sebelumnya yang disatukan dengan bidang hukum. Harapan publik dengan pemisahan bidang Kementerian HAM ini, upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM akan menjadi prioritas sesuai prinsip universal penegakan HAM yang juga dimuat didalam Pasal 28 I ayat 4 UUD 1945. Yakni perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Pernyataan Yusril justru bisa memicu "kecurigaan" bahwa melalui pembentukan Kementerian HAM penyelesaian kasus-kasus pelanggaran masa lalu bakal diarahkan pada model "penyelesaian" politik dengan menggunakan instrumen kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip universal penegakan HAM dan amanat konstitusi kita sendiri.
Belum Lagi Bekerja Sudah Mengeluhkan AnggaranÂ
Blunder kedua dilakukan oleh Natalius Pigai, Menteri HAM yang berada dibawah kordinasi Profesor Yusril. Didorong oleh semangat (mungkin juga euphoria jabatan) sebagai pejabat baru nampaknya, Pigai mempertanyakan besaran anggaran di Kementerian yang dipimpinnya, yang hanya 64 Milyar. Jumlah yang amat kecil katanya jika dibandingkan dengan agenda, program dan tugas-tugasnya dalam membangun HAM di negeri ini.
Pigai, seperti dikutip berbagai media, menginginkan anggaran untuk kementeriannya diatas 20 Trilyun. Meski kemudian diiringi dengan semacam ungkapan "disclaimer": "...tapi itu kan kalau negara mampu,"Â hemat saya pernyataan Pigai ini tidak (atau setidaknya belum) cukup pantas diutarakan, terutama ke ruang publik.
Pigai baru saja ngantor sebagai Menteri. Alangkah bijaknya jika ia melakukan orientasi internal terlebih dahulu dengan kondisi lembaga yang dipimpinnya. Pelajari program yang sudah dirancang pendahulunya, kalkulasi anggaran yang tersedia yang pastinya juga sudah hasil kajian dan pembahasan pendahulunya.
Jika kemudian ditemukan permasalahan atau potensi permasalahan yang bisa mengganggu kinerja dan target-target program kementeriannya tentu akan sangat bijak direview bersama tim di Kementeriannya terlebih dahulu dengan matang, lalu kordinasi dengan Menkonya. Jangan serta merta dan tetiba saja soal sensitif itu dibuka ke publik.
Gaya kepemimpinan dan manajemen grasak-grusuk seperti ini jelas tidak bagus. Ini bisa menimbulkan penilaian negatif dari masyarakat. Mulai dari soal kordinasi yang tidak dilakukan, aspek leadership dan manajerialnya yang lemah, atau kesadaran dan pemahamannya yang rendah bahwa yang ada adalah Visi-Misi dan Program Presiden, bukan Menteri.
Jadi, sebagai Menteri, Pigai juga tidak elok bicara terlalu banyak soal agenda dan programnya sampai mengungkapkan bahwa dia akan membangun Universitas HAM, yang dikaitkannya dengan anggaran kecil tadi. Let's say ini perintah khusus Presiden. Tapi apa iya, membangun Universitas HAM itu mendesak? Yang mendesak itu adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan pengarusutamaan kesadaran, penegakan, dan penghormatan HAM terutama di kalangan aktor-aktor negara sebagai penangungjawab sesuai amanat konstitusi.
Kop Surat Menteri untuk Undangan Haulan
Blunder ketiga dilakukan oleh Yandri Susanto, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Belum selang satu hari dilantik Yandri mengundang para Kepala Desa, Ketua RT, hingga kader posyandu di wilayah Kramatwatu, Serang Provinsi Banten untuk hadir dalam peringatan Haul ke-2 Ibundanya, Hari Santri, sekaligus tasyakuran di sebuah pesantren.