Mei 2023 silam saya mengakhiri dharma ketiga perguruan tinggi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten. Lima tahun menjadi Komisioner KPU daerah adalah fase pengabdian yang berharga sebagai warga negara sekaligus bermakna dalam sepanjang karir sebagai akademisi. Dan saya mensyukuri keduanya karena pernah mengalaminya.
Tetapi ada satu sisi yang mungkin tidak terlalu diketahui oleh banyak orang kecuali sekedar pintasan informasi ringan saja. Bahwa menjadi penyelenggaraan Pemilu/Pilkada adalah pekerjaan yang "agak laen." Kelainan itu tercermin dalam frasa populer bahwa "penyelenggara Pemili/Pilkada wajib netral."
Ketahuilah, bahwa di balik frasa itu ada norma moral yang tidak tertulis namun sangat esensial. Bahwa dengan menjadi penyelenggara Pemilu/Pilkada, setiap warga negara sejatinya telah melepaskan salah satu hak dasarnya sebagai warga negara, yakni kebebasan. Bebas mengambil pilihan sikap (politik) bernegara serta bebas mengekspresikan dan mengartikulasikannya.
Pembatasan terhadap hak kebebasan itu tertuang bukan hanya dalam regulasi kepemiluan (UU Pemilu/Pilkada dan PKPU), tetapi juga dalam Kode Etika Penyelenggara Pemilu (KEPP) yang dirumuskan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Demikian ketatnya pembatasan kebebasan itu, hingga jika seorang Komisioner (KPU maupun Bawaslu) mengungkapkan sikap dan pilihan politik elektoralnya kepada isteri atau anak-anaknya saja. Kemudian mereka meneruskan sikap dan pilihan politik itu kepada orang lain lalu ada yang melaporkannya kepada DKPP, hal ini bisa membahayakan posisi dan karirnya. Ia bisa disanksi oleh DKPP, dari peringatan hingga pemecatan dengan tidak hormat dengan sangkaan tidak berlaku netral.
KPU dan Bawaslu adalah kerangkeng kebebasan bagi para Komisionernya, Ketua maupun Anggotanya. Dan soal pilihan sikap politik itu hanyalah satu item saja dari deretan hak kebebasan yang diamputasi oleh regulasi kepemiluan kita melalui piranti yang bernama perundang-undangan dan Kode Etik tadi.
Itulah sebabnya, selesai menjalani tugas sebagai penyelenggara Pemilu/Pilkada, bagi saya pribadi merupakan berkah tersendiri sambil tetap mensyukuri pernah mengalami suka dan dukanya baik di Kabupaten maupun Provinsi.
Berkah itu tidak lain adalah kembalinya salah satu hak dasar saya sebagai warga negara, yakni kebebasan berekspresi. Kebebasan memilih sikap politik dan mengartikulasikannya, bukan saja pada isteri dan anak-anak, tetapi juga kepada para sahabat, kolega bahkan khalayak secara terbuka.
Dan, Kompasiana adalah salah satu mimbar dimana saya bisa mengekspresikan kebebasan itu dengan nyaman dan menyehatkan sambil berharap apa yang disuarakan melalui konten-konten analisis politik bisa memberi dampak positif meski mungkin tak seberapa.
Mimbar Akademik  Â
Usai menuntaskan tugas sebagai penyelenggara Pemilu/Pilkada, saya memang benar-benar merasakan kebebasan yang pernah ditangguhkan sebagai konsekuensi pilihan hidup.