Meski tidak sebanyak yang diperkirakan di awal perhelatan, Pilkada serentak 2024 akhirnya bakal menyajikan kontestasi pseudo-democracy di 1 Provinsi, 35 Kabupaten dan 5 Kota (total 41 daerah) di seluruh Indonesia. Yakni Pilkada yang diselenggarakan dengan mengikutsertakan Kotak Kosong sebagai "peserta."
Mengapa Kotak Kosong jadi peserta? Karena pasangan calon dari spesies manusia tidak lebih dari satu pasangan calon alias calon tunggal. Sementara secara qodrati yang namanya "pemilihan" jelas wajib ada obyek yang akan dipilih, dan obyek itu wajib lebih dari satu jumlahnya.
Jadi, kehadiran Kotak Kosong sebagai peserta Pilkada dimaksudkan untuk menunjukan bahwa rakyat tetap punya pilihan, demokrasi elektoral di daerah masih ada.
Lalu mengapa Pilkada dengan calon tunggal, meminjam istilah yang digunakan George Sorensen, layak disebut pseudo-democracy, demokrasi semu? Nanti kita ulas di bawah.Â
Jumlah total calon tunggal Pilkada ini bertambah (dan trendnya memang terus mengalami peningkatan) dibandingkan dengan Pilkada serentak periode-periode sebelumnya. Pilkada serentak pertama tahun 2015 baru terdapat 3 paslon. Kemudian bertambah jadi 9 paslon di Pilkada 2017 dan 16 paslon di Pilkada 2018. Dan naik lagi jadi 25 paslon pada Pilkada serentak terakhir tahun 2020 silam.
Menariknya (atau konyolnya?), di sepanjang hampir satu dekade ini tidak ada upaya politik yang kongkrit dan langkah hukum yang mengikat, baik dari parlemen dan pemerintah, maupun dari partai politik untuk mencegah pertumbuhan gejala elektoral yang tidak sehat ini.
Kecuali sekadar warning akademik dan catatan-catatan kritis dari kalangan akademisi dan masyarakat sipil perihal tak sehatnya Pilkada yang digelar dengan calon tunggal, yang kemudian dianggap angin lalu saja. Dan putusan MK Nomor 60 yang dalam kasus ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh partai-partai politik.
Faktor Penyebab
Kehadiran kotak kosong sebagai peserta Pilkada mengisyaratkan ada gejala politik yang tidak sehat dalam sistem kepartaian kita, khususnya terkait proses demokrasi elektoral di tingkat lokal (Pilkada).
Dalam konteks ini partai-partai gagal menjalankan salah satu fungsi dasarnya sebagai sarana rekrutmen kepemimpinan politik yang demokratis di semua tingkatan pemerintahan demokrasi.
Sebagaimana pernah diulas dalam beberapa tulisan saya sebelumnya, salah satu faktor yang memicu kemunculan Kotak Kosong adalah bersitemali dengan isu semakin menguatnya fenomena politik kartel dalam perhelatan Pilkada atau bahkan dalam lanskap kepolitikan nasional pada umumnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!