Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Putusan MK dan Permufakatan Banal di Baleg Parlemen

22 Agustus 2024   00:35 Diperbarui: 22 Agustus 2024   05:25 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, semua partai politik baik yang memperoleh maupun tidak memperoleh kursi di DPRD dapat mengajukan pasangan calon sepanjang dapat memenuhi ketentuan besaran persentasi tadi, sendirian maupun dengan cara berkoalisi (gabungan) partai politik. Karena syarat perolehan kursi di DPRD dinyatakan oleh MK bertentangan dengan konstitusi.

Dalam konteks ini, sebagaimana dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menilai bahwa, "Jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 secara terus-menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat."

Kedua, dengan perluasan ruang kandidasi dan terbuka bagi semua partai peserta Pemilu, maka potensi munculnya calon tunggal karena ada dominasi kekuatan politik tertentu yang memborong semua partai yang memiliku kursi di DPRD dengan sendirinya dapat dicegah.

Dalam konteks ini, sekedar menyebut beberapa contoh kasus Pilgub, proses kandidasi di Banten, Jakarta, Jawa Barat dan Jatim yang didominasi oleh kubu KIM Plus dan potensial melahirkan calon tunggal dapat dihindari.

Ketiga, dengan ketentuan baru ini pula potensi munculnya pasangan calon boneka yang disiapkan oleh kekuatan politik dominan untuk sekedar menghindari calon tunggal dapat dicegah. Pengondisian pasangan calon boneka oleh kekuatan politik dominan akan sia-sia karena setiap partai politik dapat mengajukan pasangan calon.

Keempat, dalam konteks konstelasi politik kandidasi yang didominasi oleh kekuatan kubu KIM Plus dengan disokong penuh kekuasaan pusat dan mengarah pada kartelisasi politik yang mematikan prinsip-prinsip elektoral, ketentuan baru ini bisa menyelamatkan demokrasi dari proses pembusukan oleh perilaku elit partai dan penguasa. Sekaligus memastikan bahwa Pilkada masih layak disebut Pilkada.

Sekali lagi, ketentuan baru itu sebetulnya menguntungkan semua partai politik sebagai institusi yang berhak mengajukan calon-calon pemimpin secara terbuka dan kompetitif. Terbuka peluang bagi setiap partai untuk memajukan kader-kader terbaiknya menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota atau para wakilnya.

Tetapi anehnya Baleg DPR RI justru mengubah demikian rupa putusan MK yang justru membatasi ruang kandidasi Pilkada.  Yakni dengan membuat ketentuan pelonggaran threshold itu hanya berlaku buat partai politik yang tidak punya kursi di DPRD. Threshold 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah Pileg tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi di DPRD.

Batas Usia Paslon 

Kemudian terkait putusan MK Nomor 70 Tahun 2024 mengenai persyaratan batas minimal usia calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Dalam pertimbangan hukumnya MK antara lain menguraikan, "Bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis, praktik selama ini dan perbandingan, Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo, sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon..." [Butir 3.17].  

Pertimbangan ini berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor : 23 P/HUM/2024 yang memberi tafsir baru bahwa pemenuhan persyaratan batas minimal usia calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah itu dihitung pada saat pelantikan calon terpilih.

Konyolnya, Baleg DPR RI justru sepakat menggunakan putusan MA dan mengabaikan putusan MK. Padahal dari sisi hierarki (tata urutan perundangan) pengajuan norma hukum jelas putusan MK lebih tinggi daripada putusan MA. MA menguji Peraturan KPU terhadap UU, sementara MK menguji UU terhadap UUD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun