Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Festival Gagasan Bakal Calon Bupati Lebak

3 Juni 2024   09:34 Diperbarui: 3 Juni 2024   09:50 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gairah berpilkada semakin menghangat di berbagai daerah. Bukan hanya karena banyak tokoh publik di level nasional yang dikabarkan bakal turun ke Provinsi atau Kabupaten/Kota dan maju sebagai calon Gubernur, Bupati atau Walikota. Tetapi karena Pilkadanya sendiri memang berdaya magnet kuat bagi masyarakat di daerah.

Lebih dari sekadar mekanisme berkala untuk merotasi kepemimpinan lokal. Di berbagai daerah Pilkada juga bisa menjadi medan pertarungan prestise bagi keluarga "berdarah biru." Bisa juga menjadi arena kompetisi mempertahankan (atau merebut) hegemoni politik-ekonomi daerah bagi para local strongmen.

Dan untuk bisa memenangi kontestasi kepemimpinan, prestis dan hegemoni itu, tidak ada pilihan lain kecuali harus merebut sebanyak mungkin suara pemilih. Demokrasi memaksa mereka semua, baik yang memiliki trah kebangsawanan, yang kaya raya, yang populer, maupun yang dianggap memiliki pengaruh kuat di daerah untuk membuktikan keunggulan-keunggulan komparatifnya itu dengan cara meraih mandat mayoritas rakyat.

Kepentingan untuk memenangi kontestasi elektoral itu kemudian ngonek dengan kesadaran kolektif pemilih bahwa suara mereka "berharga." Nah, pada titik inilah Pilkada memancarkan daya magnit para pihak: pemburu suara dan pemilik suara.

Sayangnya, dan inilah problematika klasik perhelatan elektoral kita. Kesadaran perihal pentingnya suara itu kemudian disikapi dan dikelola dengan cara-cara yang keliru oleh masing-masing pihak.

Para kandidat fokus hanya pada bagaimana meraih suara sebanyak mungkin, dan tidak peduli dengan cara yang ditempuhnya. Di sisi lain, karena sadar suara-suara elektoral berharga, para pemilih berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh imbalan materil (dan segera) atas suara-suara yang bakal mereka salurkan. Tidak semua pemilih tentu saja. Tetapi gejala ini terus berkembang di setiap Pilkada.

Begitulah. Pilkada akhirnya hanya menjadi pasar dimana suara-suara elektoral diperjualbelikan. Ide-ide cerdas dan visioner serta gagasan-gagasan programatik dan trengginas untuk kepentingan kemajuan daerah menjadi tidak penting, baik bagi para kandidat maupun para pemilih.

Fenomena itu jelas jauh dari ideal. Dengan cara demikian Pilkada hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin produk transaksional yang hanya mengedepankan keunggulan-keunggulan materil dan finansial. Di sisi lain para pemilih selamanya akan terjebak dalam pusaran kebodohan politik. Fenomena ini harus diubah, mendesak diperbarui.

Dari "Pasar Suara" ke Festival Gagasan  

Berbasis semangat mengubah fenomena "pasar dan transaksi suara" Pilkada itulah, manajemen Pesantren Nurul Madany bersama para alumninya menggelar election talk yang diberi tajuk "Sarasehan Lebak 2024-2029: Membangun Bersama, Sejahtera Bersama," Minggu 2 Juni 2024 kemarin. Pesantren modern ini berlokasi di Desa Sipayung Kecamatan Cipanas Kabupate Lebak Provinsi Banten.

Dalam sambutannya mengawali Sarasehan, Mudir Ma'had (Pimpinan Pesantren) Nurul Madany, KH. Abdullah Alhadad, S.Ag.,M.Sy mengajak semua elemen masyarakat yang bakal terlibat dalam Pilkada untuk mengubah paradigma keliru tentang keberadaan pesantren yang selama ini hanya dijadikan obyek mencari dukungan suara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun