Jadi, alasannya bukan karena soal gagasan dan sikap politik yang berbeda atau apalah yang bersifat substantif dan bernilai luhur. Melainkan lebih karena soal kepentingan perburuan rente politik di kubu pemerintahan.
Padahal semua tahu belaka, penyusunan kabinet adalah hak prerogatif Presiden. Hak ekslusif, yang bahkan Wakil Presiden pun tidak memiliki hak ini. Wapres hanya berpeluang memberikan saran dan masukan. Putusan akhir ada di tangan Presiden. Begitu konstitualitasnya.
Bedasarkan fakta dan logika itu maka gangguan, entah itu sikap resisten diawal atau "konfrontasi" di tengah perjalanan pemerintahan nanti, sejatinya bisa datang dari luar maupun dari dalam lingkungan koalisi pemerintahan sendiri.
Benar apa yang diingatkan Ganjar seperti dikutip berbagai media ketika merespon pernyataan Prabowo. Bahwa yang kerja sama saja bisa mengganggu.
Warning Ganjar boleh jadi "nyambung" dengan saran Luhut Binsar Panjaitan kepada Prabowo seperti dikutip berbagai media awal Mei lalu, "jangan membawa orang-orang toxic ke dalam pemerintahan anda..." Dengan pengalaman panjangnya sebagai pembantu utama Presiden Jokowi, Luhut pasti tahu banyak bahwa di dalam pemerintahan Jokowi memang pernah ada menteri-menteri toxic yang "mengganggu" soliditas dan kelancaran program-program pemerintahan Jokowi.
Jadi, dalam konteks Prabowo mempersiapkan komposisi kabinet pemerintahannya, "yang tidak mau kerjasama dan bisa mengganggu" itu bisa saja sudah muncul saat ini dan itu bisa dari dalam lingkungan koalisi, bahkan dari orang-orang terdekatnya sendiri. Dan mereka semua menjadi sasaran tembak pernyataan Prabowo.
Siapa mereka? Ya siapapun yang ngerecokin hak prerogatifnya sebagai Presiden terpilih untuk menyusun kabinetnya.
Mengontrol, Bukan Mengganggu
Sekarang soal diksi "mengganggu" yang digunakan Prabowo dalam pernyataannya. Dalam kamus kita, istilah "mengganggu" antara lain dimaknai sebagai "merintangi; menyebabkan sesuatu tidak berjalan sebagiamana mestinya; mendatangkan kekecauan."
Jika difahami dalam konteks relasi kekuasaan politik, mereka yang berpotensi mengganggu dalam pengertian tersebut diatas mestinya adalah kelompok-kelompok masyarakat yang berada di luar sistem ketatanegaraan atau sistem politik. Bukan elemen-elemen yang berada di dalam sistem ketatanegaraan yang disepakati bersama.
Mereka bisa kelompok-kelompok radikal yang mengusung ideologi tertentu di luar Pancasila. Atau jaringan kelompok teroris tran-nasional yang tidak menghendaki Indonesia dalam situasi aman, damai dan stabil. Atau sekurang-kurangnya adalah barisan sakit hati yang tidak bisa menerima, katakanlah hasil akhir kontestasi politik elektoral, lalu lupa dengan komitmen kebangsaannya untuk bersama-sama menjaga Indonesia dalam situasi kalah sekalipun.
Sebaliknya, terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang berada di dalam sistem ketatanegaraan atau sistem politik, yang menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan konstitusi hasil konsensus kebangsaan, yang mencintai dan siap menjaga Indonesia dalam situasi apapun, istilah "mengganggu" dalam pengertian diatas tentu tidak tepat.