Kedua, kualitas iman dan taqwa melemah tetapi keberlimpahan dunia terus meningkat. Sholat ditinggal, puasa diabaikan, zakat tidak pernah, apalagi sedekah dan amalan-amalan sunnah lainnya, namun selalu sukses dalam menjalani hidup dan kehidupan pribadinya.
Terkait kedua fenomena itu Ali Bin Abi Thalib mengingatkan:Â "Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau melihat Rabbmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya." (Mutiara Nahjul Balaghoh)
Ketiga, jarang tertimpa musibah dan jarang mengalami sakit, meski gaya dan pola hidup yang dijalaninya sangat buruk dilihat dari aspek kesehatan, baik fisik maupun mental-psikologis. Kehidupannya berjalan normal dan ia tetap nampak sehat secara fisik dan mental.
Keempat, terbersit didalam hati dan pikirannya bahwa semua yang diperoleh dan miliki semata-mata karena hasil ikhtiar dan kerja kerasnya. Ia mengingkari doktrin akidah yang seharusnya diyakini bahwa semua yang didapatkan dan dimilikinya adalah anugrah dari Allah. Tapi lagi-lagi, dengan hati dan pikiran yang ingkar itupun ia hidup dalam ketenangan dan kenyamanan.
Kelima, dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan ia cenderung anti-sosial, tidak peduli lingkungan, abai terhadap kepentingan bersama, egois-individualis, jika pemimpin ia dzalim dan mengkhianati amanah. Namun lagi-lagi hidup dan karirnya selalu mulus. Apa yang dikehendakinya selalu terpenuhi, apa yang dicita-citakannya selalu terwujud.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, Fir'aun adalah salah satu contoh paling dahsyat bagaimana istidraj Allah bekerja. Seperti dikisahkan didalam Al Quran, Fir'aun adalah penguasa despot yang dzalim, tiran yang bengis. Ia memiliki segalanya. Keberlimpahan harta dan kemegahan kekuasaan. Ia bahkan dengan lantang mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan:
"Anaa Robbukumul A'la" (QS. An-Naziat: 24). Akulah Tuhan yang Paling Tinggi. Demikian Fir'aun mengumbar kesombongan dan ambisinya di hadapan rakyatnya sekaligus bermaksud menegasikan Allah sebagai Tuhan dan Kerasulan Musa 'alaihissalam. Namun demikian Allah memberinya kemegahan dan kenikmatan kepada Fir'aun hingga tiba waktunya kemudian ia dibinasakan di Laut Merah dan di akhirat.
Cara Menghindari Istidraj
Agar terhindar dari istidraj para ulama memberikan jalan untuk ditempuh dengan penuh kesungguhan diserta harapan (roja') akan anugrah keberkahan hidup kepadaNya.
Pertama, menjaga dan meningkatkan kualitas iman dan taqwa setiap waktu dengan cara berikhtiar keras untuk selalu melaksanakan setiap perintah dan meninggalkan segala laranganNya. Baik dalam konteks ibadah-ibadah individual maupun amalan-amalan sosial.
Kedua, selalu menyadari bahwa setiap kebaikan dan keburukan dalam hidup adalah bentuk ujian dari Allah. Melalui kebaikan dan keburukan itu Allah menguji kadar keimanan dan eksistensinya sebagai hamba, sekaligus menguji derajat kesabaran dan keikhlasan setiap orang.
Ketiga, merawat rasa sykur atas setiap anugrah rizki (harta, keluarga, kesehatan, jabatan, karir dll) yang Allah berikan dan mewujudkannya dalam perilaku keseharian dengan cara menggunakan setiap anugrah itu sebagai sarana beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Baik ibadah mahdhoh seperti sholat, zakat, puasa, haji maupun ibadah ghoir-mahdhoh seperti berbuat baik kepada orang tua, kerabat dan sesama manusia, serta lingkungan sosial.
Keempat, rajin melakukan introspeksi (muhasabah diri) terhadap setiap perbuatan yang telah dilakukan, lalu mengoreksi kelemahan dan memperbaikinya di kemudian hari. Termasuk dalam konteks ini adalah memeriksa dan merenungkan dengan sungguh-sungguh setiap kali memperoleh kebaikan dan kesenangan duniawi untuk memastikan bahwa semua yang diperoleh ini bukan merupakan azab atau bentuk pembiaran Allah karena maksiat dan kemunkaran yang dilakukan. Â