Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Contradictio in Terminis, Pak Presiden!

20 Februari 2024   23:10 Diperbarui: 22 Februari 2024   12:46 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertemuan Jokowi dan Surya Paloh beberapa hari lalu mudah dibaca. Apalagi jika benar bahwa yang menginisiasi pertemuan itu adalah Jokowi, dan Surya Paloh adalah pihak yang diundang.

Saya membaca sekurang-kurangnya ada tiga agenda terselubung dibalik manuver Jokowi ini. Ketiga agenda ini terbangun, disadari atau tidak, di atas kecemasan Jokowi terhadap hasil Pemilu, arus desakan pemakzulan yang nampaknya akan terus menderas dan semangat perubahan yang sukar dihadang.

Lobi agar Hasil Pemilu Diterima

Sementara di sisi lain, pernyataannya merespon soal pertemuan dengan Surya Paloh, bahwa dirinya ingin menjadi jembatan semua pihak (yang berseberangan secara politik tentu maksudnya) memantik juga beberapa spekulasi.

Pertama pilihan frasa "menjadi jembatan" yang digunakan Jokowi seakan menyiratkan keyakinannya bahwa Pilpres sudah selesai, dan secara "bukan kebetulan" kemenangan suara mayoritas diperoleh kubu Prabowo-Gibran. Jika kesan implisit ini benar ada pada Jokowi, publik bisa semakin yakin bahwa Pilpres memang sudah dirancang Jokowi demikian rupa untuk dimenangkan oleh Prabowo dan anaknya sebagaimana dibeberkan dalam film dokumenter "Dirty Vote."

Kedua soal pilihan kosakata "menjadi jembatan" yang digunakan Jokowi. Istilah ini artinya sama dengan menjadi penengah sekaligus memediasi kelompok-kelompok yang bertikai untuk berunding, bermusyawarah lalu sampai pada kesepakatan bersama.

Pilihan frasa itu janggal, aneh, dan sama sekali tidak tepat. Menjadi penengah atau mediator dalam suatu konflik atau pertengkaran membutuhkan beberapa prasyarat wajib. Yakni si mediator harus dalam posisi netral, berjarak sama pada semua pihak yang berkonflik serta tidak memiliki kepentingan terhadap isu yang menjadi sumber konflik.

Lah, sejak awal kontestasi Jokowi sudah tidak netral. Berbagai pernyataan, gestur tubuh, simbol-simbol bahkan kebijakannya sebagai Presiden telah mengonfirmasi secara terang benderang ketidaknetralannya. Tetiba saja mau jadi jembatan; jadi penengah, jadi mediator. Kalaupun akhirnya bisa jadi jembatan, saya kira Jokowi adalah jembatan rapuh untuk menengahi konflik yang dirinya sendiri terlibat di dalamnya dan berkepentingan atas sumber konflk.

Contradictio in Terminis. Berkeinginan menyelesaikan suatu persoalan, sementara dirinya sendiri justru bagian dari persoalan itu. Serupa dengan Pak Harto di tahun 1998 silam. Ketika demonstrasi besar dan masif mahasiswa yang menuntut reformasi tak terbendung lagi, Pak Harto mengumumkan pembentukan Kabinet Reformasi. "Contradictio in Terminis, Pak Presiden! Anda justru bagian terpenting dari sasaran reformasi!" Demikian kira-kira teriak mahasiswa kala itu.

Soal menariknya adalah, Jokowi seperti tidak menyadari bahwa dirinya justru merupakan bagian dari konflik yang ingin dijembataninya, ingin dimediasinya. Benarkah Jokowi memang tidak menyadari situasi dan fakta ini? Wallahu'alam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun