"Hai Orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok..." (QS. Al Hasyr : 18)
Dalam hitungan jam, tahun 2023 yang disesaki kegaduhan akan segera berakhir. Yang berakhir adalah bilangan penanda waktunya. Kegaduhannya, karena kita masih berada dalam ruang sejarah elektoral, nampaknya masih akan terus berlanjut di tahun 2024. Waallahhu'alam.
Petilasan digital, jejak manual dan memori kolektif bangsa ini mencatat tahun 2023 memang telah menjadi tahun yang memprihatinkan. Kegaduhan tadi adalah resonansi, salah satu bentuk respon artikulatif atas keprihatinan yang berlangsung masif dalam masyarakat. Keprihatinan yang dipicu oleh perilaku para elit politik ambisius untuk menjaga dan/atau demi mengamankan posisi kuasa dan jabatannya hingga tak perlu lagi untuk merasa malu di hadapan rakyat.
Dari berbagai peristiwa nir-etik yang terjadi di tahun 2023, dua peristiwa berikut ini yang paling penting untuk dimuhasabahi, direkam dan tak boleh dilupakan dari memori kolektif bangsa. Tujuannya supaya tragedi moralitas yang memalukan dan memuakkan ini tidak terulang kembali di masa mendatang.
Pertama adalah pelanggaran berat etik oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman. Kedua pelanggaran berat etik oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firlu Bahuri. Bukan terutama karena siapa mereka yang melanggar etik itu, melainkan lebih karena kedua lembaga yang mereka pimpin merupakan instrumen strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemerosotan Etik di MKÂ
Dalam UUD 1945 hasil amandemen ketiga (Pasal 24, 24A, 24B, 24C dan 25) dijelaskan, bahwa MK (bersama Mahkamah Agung) adalah Kekuasaan Kehakiman yang merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selain memilik kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD, MK juga berwenang memutus sengketa kewenangan Lembaga negara, memutus pembubaran partai politik dan perselisihan hasil Pemilu. MK, bahkan wajib memberi putusan atas pendapat DPR terkait dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Karena demikian besar dan strategisnya kewenangan MK, maka para Hakim Konstitusi yang berjumlah 9 orang itu disyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.