Jauh sebelum memasuki fase kampanye, banyak pihak mengkhawatirkan Pemilu 2024 khususnya di tahapan kampanye bakal kembali disesaki dengan isu-isu politik identitas yang mengarahkan masyarakat pada situasi pembelahan, polarisasi.
Sejauh ini, kekhawatiran itu nampaknya tidak terbukti, kita bersyukur tentu saja. Dengan demikian potensi Pemilu bakal berlangsung panas oleh sebab bara api pertengkaran dan perpecahan berbasis suku, agama, ras, dan antar golongan tidak akan kembali muncul. Sekali lagi, kita bersyukur, semoga ini menjadi penanda pemilih kita makin dewasa, cerdas dan rasional.
Sayangnya, di tengah kecenderungan meredupnya isu SARA (dan ini, sekali lagi sangat bagus), ruang kampanye Pemilu 2024 kini disesaki oleh fenomena baru, setidaknya di pentas perhelatan elektoral. Fenomena dimaksud adalah Gimik, "tipu-muslihat" (menurut pengertian KBBI), yang makin menjadi primadona para elit politik untuk meraih perhatian, simpati dan dukungan pemilih.
Gimik dan Budaya Kemasan
Dalam kamus bahasa kita, kosakata Gimik dimaknai sebagai "gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran"; sesuatu (alat atau trik) yang digunakan untuk menarik perhatian; sudut pengambilan khusus untuk menarik perhatian pemirsa dalam produksi program siaran" (https://kbbi.kemdikbud.go.id).Â
Muasal sejarah penggunaanya, gimik (gimmick) memang lazim dipakai dalam dunia peran (seni) dan marketing (ekonomi). Dalam seni peran, gimik digunakan aktor atau karakter untuk mengelabui lawan perannya. Bisa juga digunakan oleh tim kreatornya (pengarah, kameramen, properti, artistik dll), entah melalui tampilan, aksi-aksi pentas, atau sudut pengambilan gambar.
Dalam dunia marketing, gimik digunakan para perancang pemasaran untuk menampilkan produk-produk jualannya sedemikian rupa sehingga menarik calon konsumen. Bisa dalam bentuk kemasan atau cara mempromosikan. Fokusnya adalah penggunaan kreatifitas yang "berbeda" atau "anti-mainstream", yang dengan cara demikian calon konsumen dengan mudah terpikat dan memutuskan untuk membeli produk tersebut. Isi dan kualitas produk urusan belakangan.
Ringkasnya, gimik adalah istilah umum yang merujuk kepada pemanfaatan kemasan, tampilan, alat tiruan, serangkaian adegan untuk mengelabuhi, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain, dengan mengesampingkan aspek isi dan substansi.
Fenomena "yang penting kemasan, tampilan dan adegan" itulah yang saat ini tengah berlangsung di pentas kampanye Pemilu 2024. Dan agak konyol, cara ini nampaknya diminati oleh banyak orang, meski disadari atau tidak, cara-cara ini bisa menipu dan mengelabui. Respon masyarakat yang cenderung permisif atau bahkan positif terhadap model-model gimik ini boleh jadi ada kaitannya dengan "budaya wadah" atau "budaya kemasan" yang kuat dalam masyarakat kita.
Eduardo Galeano, seorang jurnalis top Uruguay, menjelaskan dalam "budaya wadah" atau "budaya kemasan" pemakaman lebih penting daripada kematian, pernikahan lebih penting daripada cinta, dan tampilan fisik lebih penting ketimbang kecerdasan. Ringkasnya, dalam "budaya wadah" kemasan dan tampilan dikedepankan, sementara isi dan substansi dihempaskan ke tepian akal sehat.