Amarah Megawati akhirnya tumpah. Kemarahan ini nampaknya merupakan akumulasi dari rasa kecewanya yang selama ini coba dipendam.Â
Di hadapan peserta rapat koordinasi nasional relawan Ganjar-Mahfud di JIExpo Jakarta (Senin, 27/11/2023), Presiden ke-5 Republik Indonesia itu mengungkapkan dengan artikulasi kemarahan yang lugas dan gestur yang sarat emosi.
Meski tak menyebut satupun nama dalam amarahnya, publik pastinya sudah tahu siapa yang menjadi sasaran amarahnya itu. Karena dalam bagian pidatonya yang emosional itu Megawati menggunakan frasa "kalian yang baru berkuasa...".Â
Di samping ini, semua orang saya kira juga sudah tahu, sejak putusan MK Nomor 90 yang telah memberi jalan bagi Gibran menjadi Cawapres Prabowo, hubungan Megawati dengan istana (atau lebih tepatnya dengan Presiden Jokowi) merenggang.
Marah. Dalam situasi apapun merupakan sikap yang tidak elok. Tapi marah juga manusiawi belaka. Bahkan seorang dengan kelas Nabi pun dalam hidupnya pernah marah. Yang berbeda berangkali hanya dalam soal pilihan ekspresinya.
Dalam beberapa hadits diriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah beberapa kali marah kepada para sahabatnya.Â
Hanya saja kemarahan Kangjeng Nabi selalu dalam konteks syar'iyah. Nabi beberapa kali marah karena di antara para sahabat ada yang melanggar ketentuan hukum, dengan sadar dan sengaja atau karena belum tahu status hukumunya suatu urusan.
Tentu saja tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk "menyetarakan" peristiwa marah Megawati dengan Nabi Muhammad. Kecuali sekedar i'tibar kecil, semacam "jembatan penyebrangan" yang berusaha menjembatani kita untuk sampai pada pemahaman ada makna apa di balik suatu peristiwa terjadi. Dalam hal ini adalah peristiwa kemarahan Megawati kemarin itu.
Bangkitnya lagi Orde Baru
Lantas, apa saja makna atau pesan moral yang bisa dijadikan i'tibar atau ibroh (pembelajaran) di balik kemarahan Megawati?