Anwar Usman akhirnya dipecat, tapi bukan sebagai hakim konstitusi. Ia diberhentikan hanya dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan ini dibacakan oleh Majelis Kehormatan Mahakah Konstitusi (MKMK) Selasa, 7 Oktober lalu.
Dalam amar putusannya MKMK menyatakan bahwa Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip Ketakberpihakan, prinsip Integritas, prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, prinsip Independensi, dan prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
Selain diberhentikan dari jabatan Ketua, Anwar Usman juga tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.
Satu lagi, Anwar Usman juga juga tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatannya sebagai Hakim Konstitusi berakhir. Perlu diketahui, bahwa dalam amar putusannya, MKMK juga merintahkan kepada Wakil Ketua MK untuk segera memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru dalam waktu 2x24 jam sejak putusan dibacakan. Dan Usman dilarang mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilihan ini.
Tidak maksimal
Putusan MKMK tersebut dinilai oleh sejumlah pihak tidak tepat. Usman seharusnya diberhentikan dengan tidak hormat. Â Herlambang Wiratraman misalnya, pakar Hukum Tata Negara UGM yang menyatakan bahwa soal etika itu menyasar ke profesi, bukan jabatan. Jadi idealnya Usman diberhentikan sebagai hakim, bukan dipecat dari jabatan ketua MK (Tempo.Co, 8 November 2023).
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Muhammadiyah Trisno Raharjo (Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah), Yansen Dinata (Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute), Petrus Selestinus (Koordinator Perekat Nusantara dan TPD) dan lain-lain sebagaimana dilansir banyak media nasional.
Pendapat para ahli dan praktisi hukum bahwa seharusnya Usman diberhentikan dengan tidak hormat itu sesungguhnya juga sejalan dengan Prof. Bintan R. Saragih (anggota MKMK) yang memgambil sikap dissenting opinion (pendapat berbeda) dalam putusan tersebut. Â Dan dalam kapasitas sebagai Menko Polhukam, Prof. Mahfud MD juga mendukung sikap Saragih (KompasTV, 8 November 2023, "Mahfud MD: Seharusnya Anwar Usman Dipecat, Saya Setuju dengan Bintan Saragih".
Jika membaca suara-suara publik terhadap putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang usia capres-cawapres sebagai "biang kerok" kegaduhan yang merontokkan marwah MK, putusan MKMK memang tidak maksimal. Sebagian publik sebagaimana bisa dibaca di berbagai media memang menghendaki Anwar Usman diberhentikan dari statusnya sebagai hakim konstitusi.
Bahkan tidak sedikit pula yang menuntut MKMK juga membatalkan putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 meski semua pihak memahami bahwa hal ini tidak dimungkinkan karena bertentangan peraturan perundangan Mahkamah Konstitusi. Â