Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengapa Banyak Pihak Menolak Gibran Menjadi Cawapres?

29 Oktober 2023   23:56 Diperbarui: 30 Oktober 2023   00:13 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.republika.co.id

Sejak ditetapkan sebagai bakal Cawapres Prabowo pada hari iari Minggu 22 Oktober 2023 lalu, Gibran Rakabuming Raka sontak menjadi episentrum pemberitaan dan opini di ruang publik.

Sebagaimana bisa dicermati dan terekam jejak digitalnya dalam berbagai media, mainstream maupun media sosial, sebagian masyarakat memberikan dukungan, dari yang luar biasa, sedang-sedang saja, hingga dukungan yang alakadarnya. Sebagian datar-datar saja, tidak mendukung tidak pula menolak. Dan sebagian lagi menolak, dari yang menolak dengan ekstrim, sedang-sedang saja, hingga menolak alakadarnya.

Terdorong oleh rasa ingin tahu, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang menolak, saya mencoba menyusun rancangan riset pendahuluan. Judulnya kira-kira begini: "Analisis Faktor-faktor Penyebab Resistensi Publik terhadap Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal Calon Wakil Presiden". Sumber data/informasi dieksplorasi dari opini publik yang beredar di media, baik mainstream maupun media sosial.

Nah, untuk para kompasioner yang beraktifitas di kampus dan berminat pada isu panas ini silahkan japri (pede banget yak?). Kita kolaborasi. Lumayan untuk mengisi data portofolio penelitian di lembar Laporan Kinerja Dosen (LKD) semester ini. Siapa tahu bisa tembus jurnal bereputasi dan dapat Scopus.

Lalu, mengapa banyak masyarakat yang resisten (menolak) terhadap Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon Wakil Presiden? Berikut ini adalah 5 (lima) jawaban hipotetik yang sudah diurutkan berdasarkan bobot penolakan kualitatifnya.

Cara yang ditempuh Gibran

Jawaban hipotetik yang pertama berkenaan dengan cara atau jalan yang ditempuh Gibran hingga berhasil menjadi bakal Cawapres Prabowo. Publik melihat cara atau jalan yang ditempuh Gibran menjadi bakal Cawapres adalah cara yang buruk, tak sehat secara politik.

Cara buruk yang dimaksud adalah penggunaan otoritas Mahkamah Konstitusi (MK) melalui mekanisme judicial review yang telah dipersiapkan sedemikian rupa. Mulai dari pembentukan opini seputar kepemimpinan anak muda oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan elektoral terhadap Gibran, penyiapan para pihak pemohon perkara, hingga ke "penyelundupan hukum" (meminjam istilah Prof. Yusril Ihza Mahendra) oleh Ketua MK.   

Sekali lagi, secara hipotetik inilah alasan paling kuat dan determinatif mengapa banyak masyarakat menolak pencalonan Gibran. Artinya, andai saja cara yang ditempuh itu normal dan dalam batas yang wajar boleh jadi masyarakat tidak akan terlalu mempersoalkan.  

Anak Presiden, Keponakan Ketua MK

Berikutnya berkenaan dengan posisi Gibran sebagai anak Presiden sekaligus keponakan dari Ketua MK, Anwar Usman.

Dalam persepsi publik Gibran telah memanfaatkan posisinya sebagai anak Presiden yang masih menjabat sekaligus keponakan Ketua MK yang mengabulkan gugatan terkait usia Capres-Cawapres untuk memenuhi ambisi politiknya. Dalam konteks ini Gibran dinilai telah terjerumus atau menjeruskan diri ke dalam model-model politik nepotisme sebagai salah satu penyakit kebangsaan yang justru harus diberangus.

Selain itu, posisi tersebut juga dianggap sangat potensial menjadi preseden politik yang tidak sehat dalam kerangka pembangunan masa depan kehidupan politik dan penguatan demokrasi elektoral.

Berpotensi melahirkan dinasti politik

Majunya Gibran sebagai bakal Capres pada saat ayahnya masih menjabat sebagai Presiden dianggap sebagai praktik politik dinasti yang berpotensi makin menyuburkan gejala dinasti politik dalam lanskap kepolitikan Indonesia ke depan.

Isu ini menjadi faktor ketiga yang telah memantik banyak orang kemudian menolak pencalonan Gibran sebagai bakal Cawpares Prabowo. Terlepas dari pembelaan akademik-teoritik terkait terma politik dinasti dan dinasti politik oleh para pendukungnya, yang pasti banyak masyarakat yang memahami politik dinasti dan dinasti politik itu sebagai sesuatu yang buruk.

 Belum berpengalaman

Faktor berikutnya yang membuat banyak orang tidak yakin dengan kapasitasnya dan karena itu menolak pencalonan Gibran sebagai bakal Cawapres adalah karena pengalaman kepemimpinan politiknya yang belum dianggap memadai untuk memimpin negara sebesar Indonesia.

Bahwa sudah berpengalaman sebagai Walikota iya, tetapi sebuah Kota tentu saja berbeda dengan negara. Bukan hanya soal keluasan wilayah, tetapi yang terpenting adalah besaran dan kompleksitas permasalahan yang bakal dihadapi, diurus dan harus diselesaikan. Dalam konteks ini Gibran masih dianggap terlalu dini untuk menghadapi kompleksitas permasalahan, kebutuhan, dan tantangan masa depan Indonesia.

 Mengabaikan fatsun politik

Faktor terakhir adalah soal etika dan fatsun politik. Masyarakat tahu persis bahwa Gibran adalah kader PDIP. Ia maju dan terpilih menjadi Walikota Solo karena peran kunci partainya. Benar bahwa yang memilih adalah rakyat. Tetap yang menawarkan dan mempromosikan dirinya kepada rakyat adalah partainya. PDIP pula yang setiap saat "pasang badan" ketika Gibran diserang lawan-lawan politiknya.

Keberaniannya maju mendampingi Prabowo yang diusulkan poros Koalisi Indonesia Maju (KIM) justru pada saat partainya sedang membutuhkan figurnya sebagai salah satu kader terbaik dinilai telah menabrak etika dan fatsun politik. Penilaian ini bukan saja datang dari lingkungan PDIP, tetapi juga berasal dari masyarakat yang bahkan bukan konstituen PDIP. Gibran dianggap minus adab secara politik.

Catatan akhir. Dari pencermatan, atau lebih tepatnya sekali lagi, dari riset pendahuluan ini, soal umur cenderung tidak signifikan sebagai faktor yang membuat banyak orang resisten terhadap pencalonan Gibran sebagai bakal Cawapres.

Jadi, muda memang bukan persoalan --entah jika tua-- bagi setiap warga negara untuk maju menjadi calon pemimpin. Yang jadi persoalan adalah warga negara yang mencalonkan atau dicalonkan memimpin negara-bangsa, tetapi sejak awal sudah berani menegasikan keadaban, bermental nepotis, bersyahwat besar menyuburkan dinasti politik, minus pengalaman, dan nir-adab secara politik. Ini yang publik tidak kehendaki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun