Berikutnya berkenaan dengan posisi Gibran sebagai anak Presiden sekaligus keponakan dari Ketua MK, Anwar Usman.
Dalam persepsi publik Gibran telah memanfaatkan posisinya sebagai anak Presiden yang masih menjabat sekaligus keponakan Ketua MK yang mengabulkan gugatan terkait usia Capres-Cawapres untuk memenuhi ambisi politiknya. Dalam konteks ini Gibran dinilai telah terjerumus atau menjeruskan diri ke dalam model-model politik nepotisme sebagai salah satu penyakit kebangsaan yang justru harus diberangus.
Selain itu, posisi tersebut juga dianggap sangat potensial menjadi preseden politik yang tidak sehat dalam kerangka pembangunan masa depan kehidupan politik dan penguatan demokrasi elektoral.
Berpotensi melahirkan dinasti politik
Majunya Gibran sebagai bakal Capres pada saat ayahnya masih menjabat sebagai Presiden dianggap sebagai praktik politik dinasti yang berpotensi makin menyuburkan gejala dinasti politik dalam lanskap kepolitikan Indonesia ke depan.
Isu ini menjadi faktor ketiga yang telah memantik banyak orang kemudian menolak pencalonan Gibran sebagai bakal Cawpares Prabowo. Terlepas dari pembelaan akademik-teoritik terkait terma politik dinasti dan dinasti politik oleh para pendukungnya, yang pasti banyak masyarakat yang memahami politik dinasti dan dinasti politik itu sebagai sesuatu yang buruk.
 Belum berpengalaman
Faktor berikutnya yang membuat banyak orang tidak yakin dengan kapasitasnya dan karena itu menolak pencalonan Gibran sebagai bakal Cawapres adalah karena pengalaman kepemimpinan politiknya yang belum dianggap memadai untuk memimpin negara sebesar Indonesia.
Bahwa sudah berpengalaman sebagai Walikota iya, tetapi sebuah Kota tentu saja berbeda dengan negara. Bukan hanya soal keluasan wilayah, tetapi yang terpenting adalah besaran dan kompleksitas permasalahan yang bakal dihadapi, diurus dan harus diselesaikan. Dalam konteks ini Gibran masih dianggap terlalu dini untuk menghadapi kompleksitas permasalahan, kebutuhan, dan tantangan masa depan Indonesia.
 Mengabaikan fatsun politik
Faktor terakhir adalah soal etika dan fatsun politik. Masyarakat tahu persis bahwa Gibran adalah kader PDIP. Ia maju dan terpilih menjadi Walikota Solo karena peran kunci partainya. Benar bahwa yang memilih adalah rakyat. Tetap yang menawarkan dan mempromosikan dirinya kepada rakyat adalah partainya. PDIP pula yang setiap saat "pasang badan" ketika Gibran diserang lawan-lawan politiknya.