Seperti diduga banyak orang sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya meberi jalan bagi Gibran dan siapa saja warga negara yang saat ini sedang atau pernah menduduki jabatan kepala daerah untuk maju sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden.
Memang tidak persis sama dengan dugaan banyak orang yang lebih fokus ke aspek usia. Dalam perkara ini, MK menolak permohonan batas minimal usia untuk diturunkan ke 35 tahun. Tetapi MK mengabulkan opsi lain yang intinya, meski masih berusia di bawah 40 tahun seorang warga negara dapat mencalonkan atau dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden jika sedang atau pernah menduduki jabatan Kepala Daerah melalui hasil Pemilihan.
Nah, Gibran bisa masuk melalui opsi kedua putusan itu. Ia baru 36 tahun, tapi sedang menjabat sebagai Walikota Solo. Clear sampai di sini.
Tapi dari dinamika persidangan pembacaan putusan kemarin, ada beberapa kejanggalan yang patut mendapat perhatian. Kejanggalan-kejanggalan ini berkenaan dengan mekanisme pengambilan keputusan dan substansi putusan yang dikemukakan langsung oleh dua Hakim Mahkamah Konstitusi. Mari kita cermati.
Keganjilan yang dirasakan Hakim Arief
Sebagaimana kita ketahui, putusan MK kemarin itu tidak bulat. Lima orang hakim menyetujui, dan empat hakim lainnya dissenting opinion (berpendapat berbeda). Keempat hakim yang memilih dissenting opinion adalah Arief Hidayat, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo.
Pada saat pembacaan putusan Hakim MK Arief Hidayat mengemukakan beberapa keganjilan yang ia rasakan. Pasalnya lewat putusan tersebut, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Padahal pada hari yang sama, sebelumnya MK menolak tiga putusan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Menurut Arief, ia merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres. Keganjilan ini harus saya sampaikan karena mengusik hati nurani saya.
"Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara yang berdasar pada ideologi Pancasila," kata Arief saat membacakan dissenting opinion di Gedung MK, Jakarta Pusat, dan dikutip berbagai media nasional.