Kaesang dan PSI gabung ke Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dan dengan sepenuh hati mendukung Anies-Cak Imin (AMIN) sebagai bakal Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029.
Stop. Narasi di atas bukan konten hoax yang dikutip dari media atau percakapan grup whatsapp. Ini adalah pengandaian, yang sebagian besar orang boleh jadi tidak akan berani mengartikulasikannya, bahkan sekedar memimpikannya sekalipun. Pengandaian yang terlampau jauh, mimpi yang kelewat mustahil.
Tapi benarkah (pasti) demikian? Tentu saja tidak. Bukankah politik itu adalah seni kemungkinan? "Politics is the art of the possible", ujar Donald K. Emmerson pada sebuah konferensi mahasiswa Indonesia di Kanada tahun 1999.
Keputusan Kaesang bergabung dengan PSI memang berdaya magnet luar biasa. Dan saya melihat sisi "daya tarik" ini lebih karena momentumnya, bukan karena partai yang dimasukinya atau karena ia putra seorang Presiden.
Artinya, jika momentum Kaesang masuk PSI lalu dalam hitungan waktu ditetapkan menjadi ketuanya terjadi pada pertengan tahun 2021 atau 2022 misalnya, kehebohan dan daya tariknya tidak akan sebesar sekarang. Pun meski Kaesang dalam posisi sebagai anak Presiden.
Tiga Celah bagi KaesangÂ
Balik lagi ke narasi awal tadi. Meski derajat probabilitasnya kecil, saya melihat ada celah terbuka bagi Kaesang untuk bergabung dengan KPP dan mendukung AMIN. Seandainya Kaesang mau menembus dan menggunakan celah ini, tiga insentif politik secara potensial bisa diraih Kaesang bersama keluarga (Presiden Jokowi) dan PSI sekaligus.
Celah pertama, hingga saat ini Jokowi yang de facto merupakan "King Maker" bagi sejumlah parpol belum memutuskan dengan tegas kepada siapa endorsement politik elektoralnya bakal diarahkan pada akhirnya. Kalaupun poros mana (tentu saja diantara Prabowo-KIM dan Ganjar-PDIP) yang bakal didukung sudah ada dalam kantong preferensinya, Jokowi tampaknya akan memberikan kebebasan kepada Kaesang dan PSI karena pertimbangan tertentu.
Saya malah menduga ada kemungkinan Jokowi justru akan menyarankan Kaesang untuk merapat ke KPP-AMIN. Langkah ini bisa saja diambil Jokowi untuk menciptakan keseimbangan politik elektoral bagi diri dan keluarganya. Pilihan formasinya : Jokowi mendukung Ganjar-PDIP dan Gibran dipersilahkan merapat ke Prabowo-KIM atau sebaliknya. Sementara Kaesang didorong merapat ke KPP-AMIN. Mungkinkah? "Politics is the art of the possible".
Menghidupkan Politik Kebhinnekaan
Kemudian, hemat saya secara pribadi Kaesang memiliki preferensi pertimbangan politik sendiri. Preferensi ini berkenaan dengan ghiroh dan visinya sebagai politisi masa depan, yang kiprahnya tak sekedar ikut meramaikan pesta jangka pendek 2024 ini.
Dalam konteks ini Kaesang pasti sudah membaca dan memahami konstelasi politik nasional saat ini yang sedang dilanda beragam problematika. Salah satu yang paling menonjol adalah melemahnya semangat politik kebhinekaan sebagai basis gagasan dan praksis paling mendasar untuk dapat merawat harmoni dan tertib sosial sekaligus menjaga integrasi nasional.
Semangat dan visi menghidupkan politik kebhinnekaan (yang saya yakin ada dalam pikiran Kaesang) ini merupakan celah kedua baginya untuk memilih bergabung dengan KKP-AMIN. Celah ini sekarang terbuka lebar jika Kaesang bergabung dengan KPP-AMIN, satu-satunya poros yang secara "ideologis" paling komplit. Secara verbal, celah ini juga sudah dibuka oleh Cak Imin.
Di KPP-AMIN ada Nasdem yang mewakili kalangan nasionalis, ada PKS yang merepresentasikan kalangan Muslim puritan (modernis), dan ada PKB yang merepresentasikan kalangan Muslim moderat (santri, tradisionalis). Jika Kaesang dan PSI kemudian bergabung maka warna politik kebhinnekaan akan semakin sempurna dan bisa dengan solid digerakkan bersama-sama untuk masa depan Indonesia yang bhinneka dan tetap dalam bingkai persatuan. Mungkinkah? "Politics is the art of the possible".
Kalkulasi Pragmatis
Celah terakhir terkait kepentingan elektoral jangka pendek dan urusan-urusan pragmatika politiknya pasca perhelatan Pemilu 2024. Kaesang pastinya memahami betul bahwa postur koalisi pengusung pasangan calon Presiden-Wakil Presiden pasti akan berdampak pada urusan "siapa mendapat apa" di kemudian hari. Sementara terhadap potensi kemenangan postur koalisi tak selalu berkorelasi positif.
Dalam kancah kepolitikan elektoral kita, baik Pemilu maupun Pilkada sudah banyak fakta, bahwa pasangan calon yang didukung koalisi besar kalah dalam kontestasi. Bergabung dengan KPP-AMIN potensi menang-kalah tentu sama terbukanya dengan jika bergabung dua poros lainnya. Tetapi postur poros KPP-AMIN ini jelas relatif lebih ramping namun tadi itu, merepresentasikan secara komplit sebaran basis konstituennya.
Bagaimana dengan "efek ekor jas?" Meski hingga saat ini hampir semua lembaga survei masih menempatkan Prabowo di urutan teratas, dugaan saya angka-angkanya akan bergerak dinamis untuk AMIN. Kabar terakhir yang dirilis sebuah lembaga survei, di Jatim elektabilitas AMIN mengalami kenaikan signifikan.
Kalaupun posisi Prabowo tetap unggul dalam survei hingga menjelang hari pemungutan suara, lalu berharap efek ekor jas dari bergabung dengan poros KIM misalnya, saya kira akan sukar diperoleh. Efek ekor jas tetap akan disapu bersih oleh Gerindra sebagai partainya Prabowo, dan mungkin bagian remah-remahnya menetes ke partai lain di poros KIM.
Demikian halnya jika memilih gabung dengan Ganjar-PDIP. Efek ekor jas dari sosok Ganjar besar kemungkinan akan disapu bersih oleh PDIP. Partai-partai lain di poros ini hanya akan mendapatkan remah-remahnya saja.
Sementara di poros KPP-AMIN, posisi potensi perolehan efek ekor jas hemat saya relatif akan berimbang, paling tidak karena dua alasan. Pertama, Anies bukan berasal dari ketiga partai utama pengusung AMIN. Kedua, meski Ketua Umum partai, posisi Cak Imin hanya sebagai Cawapres. Kalaupun posisi Cak Imin bakal memberi efek buat PKB, efek ini tampaknya tidak akan terlalu signifikan.
Jadi, dengan bergabung ke poros KPP-AMIN, posisi potensial Kaesang dan PSI untuk meraih efek ekor jas relatif sama dengan partai lain di poros ini.
Ringkasnya, dengan bergabung ke poros KKP-AMIN, dari sisi elektoral Kaesang dan PSI kemungkinan akan mendapatkan insentif sedikit lebih baik ketimbang jika merapat ke poros Prabowo-KIM atau Ganjar-PDIP.
Akan tetapi, dari sisi kepentingan politik jangka panjang, Kaesang dan PSI jelas akan memperoleh insentif politik besar dari publik. Kaesang dan PSI akan diapresiasi sebagai anak-anak muda pelopor yang menghidupkan politik kebhinnekaan pada saat yang tepat. Mungkinkah? Â "Politics is the art of the possible".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H