Dalam lanskap sejarah elektoral Indonesia, Pemilu Serentak dan Pemilihan 2024 merupakan momen pertama di mana Pemilu (Pileg dan Pilpres) dan Pemilihan (Gubernur, Bupati dan Wali Kota) akan diselenggarakan secara bersamaan di tahun 2024 meski pada bulan yang berbeda.
Tetapi meski merupakan pengalaman pertama, dari sisi teknikalitas elektoral, Pemilu dan Pemilihan 2024 nanti tampaknya tidak akan menimbulkan kesulitan yang berarti, karena secara teknis tidak ada yang benar-benar baru dari perhelatan elektoral ini.
Kecuali dalam beberapa hal saja, misalnya terkait pengaturan detail tahapan dan jadwal kegiatan yang akan beririsan antara jadwal Pemilu dan Pemilihan. Atau terkait tata kelola (pengadaan, pengalokasian dan distribusi) logistik dan penggunaan beberapa aplikasi kepemiluan yang belakangan sudah menimbulkan masalah, Silon misalnya.Â
Sistem Informasi Pencalonan yang digunakan sebagai alat bantu manajemen pencalonan ini sempat bermasalah dan dipersoalkan oleh Bawaslu. Selain ini, tidak ada hal baru yang potensial menambah kesulitan.
Namun demikian, ujian dan tantangan penyelenggara bukan berarti tidak ada. Berdasarkan pengalaman pemilu dan pemilihan sebelumnya serta fenomena dinamis sosio-politik yang saat ini dan kemungkinan akan terus berkembang di ruang publik, dua isu penting berikut ini tampaknya bakal menjadi ujian dan tantangan berat yang harus dihadapi para penyelenggara pemilu.
Keberhasilan menghadapi ujian dan tantangan ini akan sangat menentukan apakah proses dan hasil pemilu nanti dipercaya oleh publik atau tidak. Kepercayaan publik atas proses dan hasil pemilu ini penting karena ia berhubungan dengan aspek legitimasi para kandidat (caleg maupun capres-cawapres) di kemudian hari.Â
Semakin tinggi derajat kepercayaan publik semakin tinggi tingkat legitimasi politik para kandidat terpilih.
Tekanan pihak eksternal
Ujian dan tantangan berat pertama yang akan dihadapi penyelenggara Pemilu 2024 adalah kemungkinan kuatnya tekanan pihak eksternal dalam hal ini terutama partai politik peserta pemilu.
Situasi tersebut potensial bisa terjadi karena partai politik, khususnya partai-partai koalisi pemerintah, merasa memiliki "saham" mengantarkan para kandidat penyelenggara pemilu hingga terpilih dalam proses seleksi KPU maupun Bawaslu, baik di pusat maupun di daerah.