Sebagaimana diadopsi dalam peraturan perundang-undangan kita, Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Istilah "kedaulatan rakyat" adalah padanan makna etimologis dari Demokrasi, Demos artinya Rakyat dan Kratos/Kratein artinya kekuasaan/kedaulatan. Jadi, Pemilu tidak lain merupakan pengejewantahan faham Demokrasi yang sejauh ini dipercaya mayoritas bangsa-bangsa di dunia sebagai pilihan jalan terbaik untuk mengelola kekuasaan negara.
Salah satu substansi demokrasi adalah memberikan ruang pada keragaman dan perbedaan, dan ini wajib dihormati dan dijaga keberlangsungannya. Karena itu dalam tradisi demokrasi, munculnya perkubuan (polarisasi) politik yang dipicu oleh keragaman dan perbedaan sebetulnya merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak mungkin dihindari. Polarisasi adalah "Sunahnya Demokrasi". Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) istilah Sunah itu antara lain bermakna "jalan yang biasa ditempuh; kebiasaan".
Itu sebabnya kebiasaan rezim totaliter yang selalu berusaha melakukan uniformitasi (penyeragaman) dalam kehidupan politik ditolak dimana-mana, karena uniformitasi sejatinya bertentangan dengan prinsip keragaman, kebebasan, dan perbedaan yang harus dijaga dan dihormati dalam tradisi demokrasi.
Sementara itu, Pemilu sendiri sebagai pengejewantahan faham demokrasi tadi pada dasarnya merupakan konflik yang dilegalkan, konflik yang absah. Karena Pemilu tidak lain merupakan arena kontestasi (perlombaan), dan dalam setiap kontestasi niscaya ada kompetisi (persaingan).
Dalam kontestasi Pemilu figur-figur kandidat termasuk partai politik serta gagasan (visi, misi dan program) mereka bersaing untuk mendapatkan dukungan publik (pemilih). Dalam persaingan inilah kemudian konflik (pertentangan, perseteruan, pertengkaran) dengan sendirinya muncul dan berkembang. Polarisasi (pengkutuban, pembelahan) yang kita cemaskan sejatinya lahir dari situasi konflik yang mengalami penajaman demikian rupa.
Dengan demikian, Pemilu memang potensial (jika bukan keniscayaan) dapat melahirkan polarisasi (sosial dan politik) dalam masyarakat. Potensi ini tidak mungkin dihindari, ditolak apalagi diberangus, lantaran Pemilu lahir sebagai implikasi dari, dan diselenggarakan di atas landasan demokrasi. Premis ini penting terlebih dahulu untuk difahami dan disadari oleh para pihak dalam kerangka perhelatan elektoral.
Lantas, apakah dengan demikian polarisasi yang menyertai perhelatan Pemilu akan diberikan toleransi, lalu dibiarkan merebak dan berkembang merusak tatanan dan harmoni sosial ? Tentu saja tidak. Tetapi juga jangan berpikir bahwa polarisasi dapat diberangus dan dihilangkan. Cara berpikir ini tidak kompatibel dengan natur demokrasi, karakter sejati  Pemilu dan sunatullahnya peradaban manusia.
Polarisasi, sebagaimana bentuk-bentuk konflik lainnya, tidak mungkin ditumpas. Ia hanya dapat dikelola, dikendalikan agar tidak mengarah pada situasi ekstrim yang membahayakan dan menghancurkan tatatan dan tertib sosial serta mengancam keutuhan negara-bangsa.
Â
Sunah yang Harus DikelolaÂ
Dalam kerangka perhelatan Pemilu 2024 yang kian mendekati masa-masa krusial, polarisasi dapat dikelola antara lain dengan membangun kesepakatan di kalangan elit partai politik maupun non-partai untuk melokalisir polarisasi di wilayah gagasan dan narasi-narasi programatik membangun Indonesia dalam bingkai persatuan dan keutuhan nasional, serta berkomitmen untuk tegak lurus mematuhi dan mengejewantahkannya dalam seluruh rangkaian dan ruanglingkup aktifitas kepemiluan.