Jika kasusnya di sekolah misalnya, alih-alih memberikan pendidikan politik yang sehat,  kampanye Pemilu justru dikhawatirkan dapat melahirkan efek negatif bagi para siswa yang secara psiko-politik boleh jadi belum siapa menerima berbagai kebiasaan dan perikau kampanye politik, yang kerap mempertontonkan nuansa konflik, saling serang, dan  saling hujat.
Isu kekhawatiran lain berkenaan dengan munculnya perlakukan tidak adil dan setara terhadap peserta Pemilu, karena misalnya otoritas sekolah-sekolah tertentu memiliki afiliasi dengan peserta Pemilu.
Potensi perlakuan tidak adil dan setara ini akan sangat besar jika kampanye dilakukan di sekolah-sekolah. Tidak tertutup kemungkinan otoritas sekolah-sekolah negeri akan berlaku diskriminatif terhadap peserta Pemilu (Partai Politik maupun pasangan Capres-Cawapres) karena ada kooptasi atau instruksi terselubung dari pemerintah melalui jaringan birokrasinya.
Kekhawatiran perlakuan diskriminatif ini juga potensial bisa terjadi ketika kampanye dilakukan di dalam/area fasilitas milik pemerintah, khususnya untuk kampanye Pilpres.
Kita tahu meski Jokowi sebagai Presiden tidak akan menjadi peserta Pemilu lagi karena konstitusi membatasi masa jabatannya, namun seperti yang dapat dicermati setiap hari, Jokowi memiliki kecenderungan mengendors figur-figur tertentu bakal Calon Presiden, dan beliau masih akan menjabat (artinya memimpin pemerintahan) hingga Pemilu usai digelar nanti.
Isu lain yang potensial bisa melahirkan lebih banyak sisi mudhorat ketimbang manfaatnya juga jika kampanye dilakukan di kampus-kampus. Selain soal potensi diskriminatif, dikhawatirkan kampanye di kampus yang dihadiri ratusan atau bahkan ribuan  mahasiswa  yang heterogen bisa memicu konflik internal di kalangan civitas akademika, mengingat afiliasi dan arah dukungan yang pasti sangat beragam.
Dengan demikian kampus menjadi tidak kondusif sebagai area akademik dan ruang dimana para intelektual bekerja, yang secara moral harus independen dan menjaga jarak yang sama terhadapat para kontestan Pemilu.
Namun begitu, sekali lagi, putusan MK itu bersifat final dan mengikat, tak bisa ditawar. Ia harus dilaksanakan. Maka pilihannya sekarang hanya dua.
Pertama, KPU sebagai penyelenggara sekaligus regulator teknis kepemiluan, dalam merevisi PKPU 15/2023 sungguh-sungguh mengkalkulasi secara cermat, bijak, menimbang segala aspek teknis yang bakal diatur lebih lanjut secara matang untuk memastikan sisi maslahat lebih besar ketimbang sisi mudhorat dan memastikan regulasi teknis itu menjamin perlakukan yang adil dan setara.
Kedua, Bawaslu sebagai pengawas seluruh tahapan Pemilu bekerja maksimal dan professional dalam mengawasi kegiatan kampanye di fasilitas pemerintah dan lembaga pendidikan ini, pun dengan dasar prinsip-prinsip elektoral yang sama, khususnya terkait perlakuan yang adil dan setara terhadap peserta Pemilu.
Penulis Dosen FISIP UMTÂ