Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Bjorka dan Pentingnya Mewaspadai Infodemi Elektoral

13 Agustus 2023   23:05 Diperbarui: 13 Agustus 2023   23:17 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa bulan lalu jagat media sosial kita sempat dikejutkan dengan kemunculan Bjorka, nama akun seorang hacker yang menurut pengakuannya sendiri berada di Warsawa Polandia, yang melakukan peretasan terhadap data sejumlah elit politik nasional dan mempublikasikannya. Bjorka juga membobol data sejumlah lembaga dan kementerian. Merespon ulah Bjorka yang "kurang ajar" ini pemerintah telah membentuk Satgas (Satuan Tugas) Pelindungan Data yang melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Dalam konteks elektoral, fenomena Bjorka ini mendesak untuk disikapi dengan serius dan tuntas, terutama mengingat perhelatan Pemilu yang terus berproses mendekati masa-masa tahapan kegiatan yang semakin penting dan sensitif. Misalnya tahapan penetapan partai politik peserta Pemilu 2024 pada akhir tahun ini, atau yang lebih dekat lagi adalah dimulainya proses pemutakhiran data pemilih pada bulan Oktober mendatang.

Penyikapan serius dan tuntas yang penulis maksud terutama bagaimana memastikan database yang disimpan dan dikelola oleh lembaga dan kementerian terutama KPU dalam konteks data kepemiluan, aman dari upaya-upaya peretasan para hackers. Jadi penyikapan bukan semata-mata ditarget untuk menghadapi ulah Bjorka. Melainkan untuk mengantisipasi para pihak dan/atau para peretas serta followers-nya yang memang bermaksud mempromosikan kegaduhan dan menciptakan kekacauan informasi di seputar perhelatan elektoral nanti.

Jika pertahanan dan keamanan siber nasional kita tetap lemah dan mudah dibobol, maka dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang semacam Bjorka dan (mungkin) ratusan hacker lainnya, dikhawatirkan Pemilu 2024 mendatang akan mengulang lagi (bahkan bisa lebih buruk) fenomena yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu. Yakni maraknya fenomena Infodemi Elektoral yang mencemaskan. Penting untuk disadari, bahwa gejala pandemi informasi bukan saja dipicu oleh hoax, fitnah, dan ujaran kebencian. Tetapi juga bisa berawal dari berita sahih atau fakta yang valid, namun kemudian dikomodifikasi, dikapitalisasi, atau dipolitisasi demikian rupa hingga mengalami distorsi, lalu akhirnya turut memicu kegaduhan dan kekacauan informasi.    

Pandemi informasi

 Istilah Infodemi pertama kali diintrodusir oleh World Health Organization (WHO) dan menjadi populer sejak wabah Covid-19 melanda dunia. Secara harfiah infodemi atau infodemic diambil dari kata information dan pandemic, yang jika disandingkan menjadi "Pandemi Informasi". WHO kemudian memaknainya sebagai terlalu banyaknya informasi yang beredar, termasuk informasi yang salah dan menyesatkan baik secara fisik maupun digital selama masa pandemi Covid-19 (World Health Organization, 2022).

Dengan uraian yang lebih elaboratif, Hermin Indah Wahyuni (2020) menjelaskan, bahwa infodemi merupakan fenomena saat informasi justru menjadi tak ubahnya pandemi karena kondisi-kondisi tertentu yang kurang ideal, di antaranya jumlah informasi yang berlimpah (overload of information) menyebar secara cepat walaupun tidak jelas akurasi dan ketepatannya. Fenomena ini biasanya muncul pada situasi-situasi yang penuh ketidakpastian, salah satunya ketika pandemi. Biasanya di dalam kondisi-kondisi yang tidak pasti itu overload of information diiringi dengan kondisi equivocality atau kondisi ketika semua informasi seolah memiliki kebenaran yang sama (equal). Luapan informasi dan dominasi media baru membuat kebenaran suatu informasi sulit dipastikan (Jurnal Balaiirung, 2020).

 Merujuk pada pemaknaan WHO dan substansi penjelasan fenomenologis Wahyuni, "Pandemi Informasi" sesungguhnya juga telah dan secara hipotetik potensial akan terus berlangsung dalam konteks perhelatan elektoral. Berbasis perspektif ini istilah "Infodemi Elektoral" merujuk pada pengertian pandemi atau wabah informasi dalam konteks penyelenggaraan Pemilu. Suatu fenomena dimana informasi-informasi seputar kepemiluan mengarus deras dan melimpah (overload of information) di ruang publik dengan tingkat akurasi yang rendah. Dalam konteks inilah berita bohong (hoax), berita palsu (fakenews), kampanye hitam (black campaign), bahkan juga ujaran kebencian (hate speech) dan fitnah memperoleh ruang artikulasinya.

Gejala infodemi elektoral menjelang Pemilu 2024 ini penting diwaspadai, setidaknya karena beberapa argumen berikut. Pertama, limpahan informasi kepemiluan dengan tingkat akurasi yang rendah dengan mudah dapat mendistorsi berita dan informasi yang benar yang seharusnya menjadi rujukan masyarakat dalam bersikap dan bertindak. Kedua, Pemilu 2019 silam menunjukkan bahwa di tengah sebaran informasi kepemiluan yang sangat dinamis dari waktu ke waktu terserak luar biasa berbagai hoax, ujaran kebencian, kampanye hitam bahkan fitnah tanpa dasar. Ketiga, infodemi elektoral berpotensi mengaburkan fokus, baik peserta Pemilu maupun masyarakat dari diskursus seputar visi, misi dan program para kandidat.

Akan lebih berbahaya lagi ketika infodemi elektoral ditingkahi pula dengan politisasi identitas oleh para kontestan dan diikuti secara massif oleh masing-masing kubu, baik yang berbasis agama, etnik maupun aspek-aspek primordialis lainnya. Pemilu 2019 silam telah lebih dari cukup memberikan contoh betapa berbahayanya membiarkan politik identitas digunakan sebagai instrumen pemenangan kontestasi elektoral. Polarisasi masyarakat terjadi dimana-mana, di berbagai ranah dan entitas, bahkan dalam skala yang sangat kecil : keluarga dan pertemanan.

Ringkasnya, fenomena infodemi elektoral yang tidak terkendali akan menjadi tanah subur bagi tumbuh dan berkembangnya pelbagai potensi non-teknikalitas elektoral yang secara hipotetik dapat melahirkan problematika pada Pemilu 2024 mendatang. Mulai dari hoax, ujaran kebencian, kampanye hitam, fitnah, atau komodifikasi identitas-identitas primordial yang natur itu untuk kepentingan pemenangan kontestasi politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun