Mohon tunggu...
Tisam Amalia Mar'atusholihah
Tisam Amalia Mar'atusholihah Mohon Tunggu... -

dari kota kecil di ujung utara Jawa Timur, tepatnya di Ponorogo. sedang menuntut ilmu di salah satu SMA berbasis Islam di Ponorogo.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat dari Ayah

17 Desember 2014   00:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:10 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14187255041298907687

Surat Dari Ayah

Karya Gholi El-Shirazy

Setahu mereka yang di Indonesia, hari perceraian keluarga pak Suryo telah memasuki hari ke tiga

Sisa-sisa tangis masih terkadang menyala dari jiwa Andini dan Raisya

Betapa tertekan hati dua orang bocahperempuan belia itu ketika mendadak mereka dengar suatu kabar memilukan dari paman dan bibinya di suatu malam. Kedua orangtua yang amat mereka rindukan kini harus mengambil jalan perceraian.

Belum lagi ketika di sekolah, nestapa menerpa batin mereka yang lemah, pernyataan dari seorang teman yang mengatakan perceraian pak Suryo dan bu Tika disebabkan karena bu Tika telah hamil dengan seorang bos di Thaiwan.

Memang kedua orangtua Raisya dan Andini tengah bekerja mengadu nasib di negeri orang yang jauh dari pandangan kedua putrinya.

Sampai saat inipun mereka tak tahu apa yang jadi pemicu perceraian ayah dan ibunya.

“Rin, ayah pernah berkata bahwa hidup itu adalah pilihan kan?

Tanya Tina pada saudara kembarnya.

“Memang ia Tin, kalau kita sudah salah mengambil pilihan dunia tak akan lagi menyapa kita dengan keramahannya.

Jawab Rina enteng.

“Terus bagaimana dengan salah satu keluarga teman kita yang saat ini telah hancur?

Tanya Tina lagi.

“Keluarga yang mana?

Rina bertanya seolah tak tahu apa-apa.

“Kamu gimana sih Rin?, emang kalau anak ber wawasan kurang luas ya begitu Tin, biarin aja.

Sahut Defi.

“Kalian ini ngomongin apa sih?, aku nggak faham dengan gaya kalian.

Rina masih tetap ber asyik-asyikan dengan gayanya yang sok nggak mau tahu masalah yang sedang dibicarakan Tina barusan.

Memang mereka bertiga telah menyusun sebuah strategi untuk menyindir Andini dan Raisya dengan cara itu.

Rupanya tanpa mereka sadari salah satu dari yang mereka bicarakan ada di situ dan siap untuk melayani ocehan-ocehan mereka selanjutnya.

“Agaknya aku kurang puas kalau nggak disebut nama dari keluarga itu, kasihan tuh!, Rina yang nggak ngerti apa-apa!

Andini tiba-tiba ber ucap dengan nada sinis.

“Eh!, kak Dini. Gini loh kak, tetangga kami ada yang bercerai satu pecan lalu.

Tina berkata sambil menahan wajah yang pucat dan bibir gemetaran.

“Ia kak.

Sahut Defi.

“Udah lah, keluarga aku emang saat ini lagi ada permasalahan, tapi tolong, akubener-bener minta tolong jangan singgung lagi masalah ini, kasihan Raisya, ia sangat tertekan dengan kabar yang didengarnya dari paman dan bibi.

Pinta Andini.

“Cius, kalau merasa, ya rasain aja kak, kalau perlu kunyah sampai lembut biar rasa itu nggak hilang, biar membekas selamanya di lidah kalian. Ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha.

Ketus Rina yang dari tadi Cuma diam.

Andini yang semula tegar, akhirnya kini menangis juga dari kata-kata yang diucapkan Rina, Tina, dan Defi.

Ia bertanya-tanya dalam hatinya, kenapa harus keluarga aku?

Begitu juga dari kejauhan, setetes demi setetes air mata Raisya mengalir menetesi jilbab putihnya.

Ia menangis sesenggukan diselimuti kerinduan pada pak Suryo dan bu Tika yang telah tiga tahun meninggalkan dirinya beserta kakaknya.

“Ya Allah, apakah benar kabar yang aku dengar dari paman dan bibi?

Rintih Raisya dalam doa bercampur Tanya.

“Hai tuan putri Raisya, sudah dapat honor belum?

Tanya Fani.

“Honor apa kak?

Raisya lingak-linguk tak mengerti.

“Honor kiriman dari bos di Thaiwan, ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha.

Balas Fani sembari menyerahkan tawa bersatu dengan ejekannya melewati raut muka seperti menghina.

Raisya hanya bisa menangis, dan terus berdoa kepada Allah dalam shalat dan dzikir nya.

Dua tahun telah berjalan dengan air mata kedua bocah yang entah sampai kapan merana itu ber akhir.

Tepat di hari Sabtu, seluruh siswa-siswi SD Negeri Suka Bangsa berkumpul mendengarkan pengarahan mengenai ujian national kelas enam, kebetulan saat ini Andini yang jadi ketua kelas, jadi dia yang bertugas mengumpulkan teman-temannya ke tempat pertemuan.

“Temen-temen, kita dimohon untuk berkumpul ke ruang aula saat ini juga.

Tutur Andini.

“Sur, enaknya ikut nggak ya?

Tanya Treesni.

“Kalau aku sih nggak juga nggakpapa, ha ha.

Jawab Suryanti.

“Ayo temen-temen.

Andini ber ucap lagi.

“Haaaaaaah!, mau ngapain sih!

Bentah Suryanti sambil melempar mangkuk ke muka Andini.

Andini mengusap dahinya yang terkena pecahan beling mangkok itu, ia sedikit keluarkan air mata karena darah yang terus mengalir dari wajahnya.

“Kak.

Sapa Raisya.

Andini tak hiraukan sapaan itu, ia terus memandangi dahi dan pipinya yang kini berdarah.

“Din, pak Rangga marah-marah tuh gara-gara kamu.

Ucap Bagus.

Andini tersentak, ia satukan pandangannya kea rah Bagus.

“Apa kesalahanku?

Tanya Andini.

Masih pakai Tanya lagi!, cepat ikut saya ke ruang kepala sekolah!

Bentak pak Rangga.

Andini mematuhi perintah itu, ia melangkah ke ruang kepala sekolah mengikuti pak Rangga dengan air mata yang terus menetes.

“Kenapa kamu lempar mangkuk minuman milik Suryanti?

Tanya pak Rangga.

“Saya yang malah dilempari pak.

Jawab Andini.

“Mana buktinya!

Suara pak Rangga mulai tampak bernada marah.

Buru-buru Andini perlihatkan mukanya yang terkena pecahan mangkok.

“Kamu bohong Andini.

Bentak Suryanti yang sebenarnya telah ada di ruangan itu lebih dulu.

“Aku yang memukul wajahmu dengan papan kecilku, ini buktinya!

Jelas Fita yang sesungguhnya ia tadi tak melakukan apa-apa.

Andini hanya tertunduk menikmati kenyataan rekayasa yang entah dibuat oleh siapa.

“Sudah!, acara pengumpulan siswa siswi ditunda hari Senin!

Ucap pak Rangga.

Matahari terus melingkar, itu artinya waktu semakin jauh berputar.

Raisya dan Andini juga telah semakin bertumbuh menjadi sosok gadis remaja, umur Andini kini tepat tujuh belas tahun, sedangkan Raisya kini telah menginjak lima belas tahun.

Kesedihan di beberapa tahun silam kini masih terkadang muncul dengan bayangan-bayangan di masa keccil mereka.

“Sya?

Sapa Andini di suatu pagi.

“Ia kak.

“Sekolah kita kan lagi libur, gimana kalau aku akan Tanya terus terang sama paman mengenai kejadian yang sesungguhnya.

Jelas Andini.

“Maksudnya, tentang kabar…

Raisya tak sanggup lanjutkan ucapannya.

“Ia Sya

Jawab Andini.

“Apa kakak sudah siap mental?

Tanya Raisya.

“Sebenarnya sudah dari beberapa hari lalu ku siapkan mental, tapi kalau yang baik kan nunggu waktu yangtepat.

Jawab Andini.

“Ia kak, aku nggak usah ikut, khawatirnya nanti tangisku akan pecah.

Raisya bergegas memasuki kamarnya. Sementara Andini berjalan ke rumah paman dan bibinya yang tak terlampau jauh.

Ia ketuk pintu dengan sopan, ia ucapkan salam dan ternyata tak ada jawaban sama sekali.

Tapi bagaimana lagi?, kalau sudah nggak ada orang apa mau dikata, Andini harus mencoba di lain waktu.

Ia kembali ke rumahnya dan mendapati Raisya menangis sesenggukan di meja tamu.

“Sya, kenapa Sya?

Andini bertanya dengan suara gemetar.

“Bibi kak, bibi!., hiks,hiks,hiks,hiks,hiks,hiks,hiks,hiks,hiks.

Tangis Raisya pecah, tangannya mendekap tubuh kakaknya yang berdiri kebingungan.

“Ada apa dengan bibi?

Andini masih tetap pada posisinya.

“Bibi kecelakaan kak, ia kecelakaan ketika sedang pergi ke bank mengambil uang yang dikirimkan ayah.

Jelas Raisya.

“Kamu tahu dari mana?, bukannya dari tadi kamu di rumah?

Andini tampak tak percaya.

“Dari Naura kak, ibu Naura kan seorang pedagang sayur, dan ia temukan jasat bibi yang sedang kritis, kemudian ditanya apa yang terjadi, bibi menjawab kalau habis dari bank dan ia mengalami tabrak lari antara sepeda motornya dan sebuah truk.

Jelas Raisya.

“Saat ini di mana bibi?

Tanya Andini dengan air mata yang menggenangi pipinya.

“Di rumahku kak Din.

Jawab Naura.

“Bibi harus segera ditangani Sya, ayo kita ke sana, selanjutnya kita bawa bibi ke rumah sakit.

Tutur Andini.

“Tapi kak?, luka itu benar-benar parah.

Balas Naura.

“Separah apapun luka, kalau kita telah mengantarkan pada pihak yang tepat maka luka itu akan sembuh juga.

Yakin Raisya.

“Segera mereka menuju rumah Naura dengan sepeda motor, Andini membonceng Raisya, dan Naura berjalan kaki dan sesekali berlari kecil.

Akhirnya mereka sampailah di rumah Naura, isak tangis mak Jaitun menyambut kedatangan mereka.

“Bagaimana mak, apa yang terjadi?

Tanya Naura.

“Bu Lina menghembuskan nafas terakhirnya ndhuk, dan ada pesan wasiat untuk nak Andini dan nak Raisya.

Ucap mak Jaitun sembari memeluk Andini.

“Apa pesan itu bu?

Tanya Raisya.

“Kalian diminta mengambil sebuah buku di almari rumah paman dan bibi, baca dan amati tulisannya.

Tutur mak Jaitun dengan memperagakan suara almarhumah bu Lina.

“Tapi saya tak berani masuk ke kamar bibi.

Ucap Andini.

“Mak juga nggak tahu nak, yang penting itu pesan terakhir bibi kalian.

Jawab mak Jaitun.

“Kalau begitu kami pulang dulu mak.

Balas Andini.

Mereka lalu pulang dengan sebuah pemikiran mengenai pesan wasiat bibi mereka.

“Kita minta izin paman kak.

Usul Raisya.

“Ia, tapi?timin.

Belum dilanjutkan pembicaraannya paman mereka datang dengan membawa sebuah buku yang sudah beberapa tahun disimpannya.

“Maaf nak, paman baru bisa memberitahukan mengenai apa penyebab ayah ibu kalian bercerai.

Tutur pak Satimin.

“Apa hubungannya dengan buku ini paman?

Tanya Andini.

“Kalian bisa membacanya sendiri.

Jawab pak Satimin.

Kemudian paman mereka pergi ke rumah mak Jaitun hendak mengurus pemakaman isterinya.

Sementara Andini dan adiknya melaju dengan kecepatan Sembilan puluh untuk segera sampai di rumah.

Mereka mandi dan berganti baju, kemudian bergantian membaca sebuah buku yang diberikan paman mereka. Satu persatu mereka baca dengan teliti, ternyata ini adalah buku yang digunakan keluarga mereka untuk berkomunikasi dengan yang di Indonesia.

Lengkap semua cerita yang terkenang dalam goresan pena, dari awal di sana sampai ber akhir pada sebuah lembaran yang menuturkan kisah sedih.

…………………….

Kepada adikku tercinta Satimin Raharjo di Indonesia.

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Dik Satimin dan juga dik Lina, saya tulis surat ini dengan tujuan memberitahukan kabar buruk yang terjadi pada kami saat ini, tapi saya mohon, jangan dulu kabar ini disampaikan secara keseluruhan pada Raisya ataupun Andini.

Tunggu dulu sampai mereka dewasa, takutnya ini akan menganggu kegiatan sekolah mereka.

Dik Satimin beserta dikLina, saat ini saya tengah mengalami musibah berat, bahkan diri saya saat ini bisa juga dikatakan sebagai manusia terkotor, saya tak pantas hidup.

Saya telah melakukan suatu dosa yang sulit diampuni oleh yang maha kuasa. Karena pada saat itu gaji saya telah terkumpul banyak, saya ingin mencoba mengunjungi sebuah lokalisasi terbesar di Thaiwan.

Kemudian saya rasakan sendiri akibat dari perbuatan saya, keesokan harinya badan saya panas, mual-mual berkepanjangan sampai satu minggu.

Akhirnya saya periksakan keadaan ini ke laboratorium.

Betapa terkejutnya batin saya, ternyata saya positif mengalami penyakit yang sukar disembuhkan, bahkan saat ini bias dikatakan tak ada obat penawarnya.

Saya positif mengidap HIV.

Dan itu buah dari perbuatan saya yang melangar norma susila dan ganjaran dari Allah karena saya telah melakukan pengkhianatan pada Tika, yang sebenarnya adalah isteri yang shalikhah.

Dan karena saya merasa diri ini telah kotor, saya ceraikan Tika satu bulan sebelum saya tulis surat ini. Saya biarkan ia menikah dengan seorang duda asli Thaiwan bernama Lowng Trouys. Dan kabar-kabarnya ia dijadikan seorang menejer di kantor export dan impor satu minggu setelah ia menikah.

Tapi jangan khawatir dik, saya tak akan menambahi beban kalian cberdua.

Saya akan mengirimkan uang untuk biaya pendidikan dua putri saya dan saya hanya meminta bantuan kalian untuk mengelola uang itu.

Doakan umur saya bertahan.

Sekian surat yang saya tulis dengan berjuta sesal dari hati.

Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

……………..

Mereka bertatapan tak berkedip, masing-masing meng analisa surat yang telah dibacanya.

“Kak, ternyata benar apa yang dulu pernah dituturkan oleh kak Fani.

Raisya mengawali pembicaraan.

“Ia, tapi menurut mereka ibulah yang bersalah, padahal ini adalah kesalahan ayah.

Jawab Andini.

Dari luar terdengar suara pintu diketuk dengan lirih, ketukan itu makin lama makin merangsang ke dalam telinga mereka.

Andini segera keluar membuka pintu dan yang dilihatnya adalah kenyataan, ayah mereka yang baru mereka gunjing kini telah tiba dengan wajah penuh haru melihat dua putrinya yang kini telah menjelma menjadi dua orang gadis remaja.

Tak sepatah katapun ter ucap, Andini dan Raisya masih sangat mengenali sosok yang ada di depan mereka, keduanya tetap berdiri sambil fikirannya menerawang ke wajah ayahnya.

“Maafkan ayah Anak-anakku, barangkali kalian telah mengetahui segala peristiwa yang ada. Itu memang terjadi dan menurut dokter ayah akan meninggal dua hari lagi. Makanya ayah dating ke sini, ayah ingin mati di dalam pelukan kalian, anak-anak yang ayah rindukan.

Ucap pak Suryo dengan tangis mengharukan.

“Ayaaaaaaaaaah, kenapa waktu tak mau mengerti keadaan kita?

Tanya Raisya.

“Ini memang kesalahan ayah nak, nanti kalau ayah sudah pergi jauh, jaga diri kalian.

Mendadak tubuh pak Suryo rebah dan jatuh terkulai lemas dan dengan hitungan tiga menit nyawanya telah melayang bersama sejuta sesal.

Kedua putri yang amat dicintainya kini benar-benar menuruti keinginannya, ia mati dalam pelukan dua orang putrinya.

Duka berbalut sejuta cerita membasuh permukaan qalbu Andini dan Raisya.

Keesokan harinya mereka sekolah dan di tengah perjalanan mendadak Rina, Tina, beserta teman-teman yang dahulu mencemoohnya meminta maaf dan sebenarnya ingin bersujud di kaki mereka.

“Sudahlah Rind an semuanya saja, aku juga minta maaf kalau ada ucapanku yang menyakittkan.

Ucap Andini.

Akhirnya persahabatan mereka menjadi akrab dan seiring berjalannya alur waktu Andini telah berhasil meraih medali emas dari ibu kota karena prestasinya di bidang mate-matika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun