Setelah upaya memfitnah Jokowi dengan isu SARA tidak membuahkan hasil yang memuaskan, kubu Prabowo-Hatta semakin ganas melancarkan operasi fitnah. Fitnah murahan yang menyebarkan kabar bohong, bahwa ayah Jokowi Tionghoa, Jokowi beragama Kristen, Jokowi antek Syiah, Jokowi antek Yahudi, Jokowi agen asing, telah menjadi bahan tertawaan masyarakat luas.
Kualitas fitnah dan kabar bohong, yang disebarkan tim sukses pendukung Prabowo Hatta, menunjukkan kualitas moral dan kualitas intelektual kubu Prahara. Gaya kampanye sampah macam itu, memang tidak bermutu dan tak rasional. Dan terbanyak yang memproduksi kampanye haram itu adalah mereka yang senantia menuding haram dan kafir kepada orang lain. Menuding ghibah jika imamnya tersangka korupsi, tapi sukarela ikhlas beramai-ramai memproduksi fitnah untuk orang yang sama sekali tak bersalah.
Kolaborasi kampanye fitnah sedemikian rupa tak kunjung membuat Prahara di atas Jokowi-JK, masyarakat pun mulai ramai mengolok-olok produsen fitnah. Geram ditertawakan, Fadli Zon, komandan Nazibungkus tanpa berpikir panjang melekatkan stigma komunis terhadap Revolusi Mental yang dicanangkan Jokowi.
Seperti sedang kesurupan hantu Orde Baru, Fadli Zon menuduh bahwa revolusi mental Jokowi digunakan untuk menghapus sesuatu yang berbau agama.
Sebenarnya masyarakat luas sudah mengetahui bagaimana latar belakang Fadli Zon. Dia pernah menempuh pendidikan sastra Rusia di Universitas Indonesia, pernah berziarah dan membawakan karangan bunga ke makam penulis Manifesto Komunis, Karl Marx. Tapi mengapa Fadli Zon yang begitu menghormati Karl Marx, sekarang menyematkan olok-olok komunis untuk menyerang kampanye Revolusi Mental Jokowi? Mengolok-olok revolusi mental dengan menyamakannya dengan karya Karl Marx?
Di sini kita bisa memahami beban psikologis Fadli Zon. Mempunyai atasan seorang pengagum Soeharto, yaitu Prabowo Subianto, membuat Fadli Zon menyangkal bahwa dia begitu mengagumi karya bakti Karl Marx.
Setali tiga uang dengan Fadli Zon, Kivlan Zen ikut bermain-main dengan isu komunis. Menurutnya, indikasi penganut komunis itu terlihat dari sebutan ‘kawan’ pada pendukung Jokowi. Kivlan Zen berargumen bahwa sebutan ‘kawan’ itu sama-sama sebutan kamerad, itu bau-bau PKI, bau-bau komunis.
Amboi betapa dangkalnya argument tim sukses pendukung Prabowo-Hatta ini? Kalau menyebut ‘kawan’ saja sudah dicap menjadi komunis, lalu bagaimana dengan Prabowo yang mengaku ingin menjadi Deng Xiaoping-nya Indonesia? Kalau kita tanya kepada masyarakat Tiongkok, Deng Xiaoping itu sampai kini diakui sebagai tokoh besar Partai Komunis Tiongkok, yang melanjutkan perjuangan Mao Zedong membesarkan Republik Rakyat Tiongkok.
Lalu mengapa Kivlan Zein hanya mempermasalahkan penyebutan ‘kawan’ oleh relawan Jokowi, namun tidak mempermasalahkan Prabowo yang mengaku ingin menjadi Deng Xiaoping-nya Indonesia? Lalu bagaimana dengan sebutan ‘Laskar’ yang paling umum dipakai oleh pendukung Prahara? Tanpa berpikir panjang, kita saja sudah mampu mengasosiasikan kata laskar dengan gerakan kekerasan, dan perang. Ini ingin kampanye pilpres atau mau perang melawan bangsa sendiri?
Bagi kita, yang berada di luar barisan pendukung Prabowo, melihat ada sesat fikir dari fitnah berupa stigma atau pelabelan komunis ini. Namun bagi mereka, pelabelan komunis ini suatu taktik menyerang. Operasi pelabelan komunis yang dijalankan oleh tim sukses pendukung Prabowo-Hatta ini meniru taktik Orde Baru.
Jika kita mencermati sejarah Indonesia, operasi pelabelan komunis itu secara efektif dijalankan oleh Orde Baru. Tujuannya adalah melancarkan politik rasis anti Tionghoa. Tulisan ini mengajak para pembaca untuk mengingat kembali operasi politik SARA yang dijalankan oleh Orde Baru.
Ada dimensi lain dari peristiwa G30S, yang selama rezim Orde baru, berkuasa, cenderung ditutupi dan dimanipulasi, yaitu dimensi rasisme yang demikian menonjol dan sangat mewarnai aksi-aksi anti komunis dan anti Bung Karno, selama periode 1965-1967. Politik rasis yang ‘membonceng’ kampanye anti komunis ini, dengan sasaran spesifik warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang dianggap ‘kiri’, telah dimulai dalam hitungan hari pasca meletusnya peristiwa G30S ini, di kota Jakarta, yang notabene adalah kota tempat dimana peristiwa G30S ini pertama kali meletus.
Elemen-elemen anti komunis yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh (KAP Gestapu), memulai aksi-aksi perusakan dan pembakaran terhadap gedung dan aset milik lembaga-lembaga Tionghoa yang punya hubungan dengan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia).
Sasaran pertama adalah kampus Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti), yang berlokasi di kawasan Grogol, Jakarta Barat. Kampus yang bernaung dibawah Yayasan Baperki ini memiliki jumlah dosen dan mahsiswa keturunan Tionghoa dalam proporsi yang cukup besar.
Meski demikian, persentase mahasiswa Res Publica yang benar-benar condong ke kiri ini tidaklah merupakan mayoritas, dari seluruh mahasiswa keturunan Tionghoa yang menempuh pendidikan di kampus tersebut.Aksi-aksi rasis KAP Gestapu ini, digambarkan dengan baik oleh Mira W, dalam novelnya yang berjudul “Gema Sebuah Hati”. Novel tersebut mengambil setting tahun 1964-1967. Di situ digambarkan seorang gadis Tionghoa, yang non komunis dan pemeluk Katolik taat, yang mengalami pergulatan batin terhadap aksi-aksi rasis KAP Gestapu.
Aksi–aksi anti komunis dan anti Tionghoa yang diawali di Jakarta ini kemudian menyebar ke seluruh pelosok Nusantara, dengan pola-pola yang kurang lebih serupa. Sepanjang bulan Oktober, November, dan Desember, aksi-aksi anti Tionghoa, yang campur aduk dengan aksi anti komunis dan anti pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), meletus di sejumlah kota besar dan kecil.
Namun skala kerusuhan paling besar terjadi di dua kota utama di luar Jawa, yaitu di Medan dan Makasar, dimana aksi ini praktis menjadikan seluruh warga keturunan Tionghoa sebagai sasaran amuk, tanpa mempedulikan apakah warga Tionghoa tersebut adalah simpatisan kiri atau bukan.
Presiden Soekarno sebenarnya sama sekali tidak berpangku tangan, atas semua perkembangan destruktif yang berpotensi menghancurkan hubungan persahabatan antara RI dan RRT ini. Dalam berbagai pidatonya, ia kerap mengecam , baik aksi-aksi fisik, maupun aksi-aksi propaganda media yang mendiskreditkan RRT dan warga Tionghoa ini.
Dalam pidatonya di depan Sidang Pantja Tunggal seluruh Indonesia, Presiden Soekarno berkata dengan marah, “ ..telah terjadi beberapa kejadian rasialisme... Saya perintahkan kepadamu, larang hal-hal yang demikian itu! Siapa yang masih mengadakan pengrusakan, dan pembakaran, dan sudah engkau larang, masih membangkang , tembak mati! Dengar saya punya perintah!”
Nah, memang seperti yang sudah mereka inginkan dan rencanakan. Masyarakat Indonesia yang telah mengecap alam kebebasan berekpresi selama 16 tahun reformasi ini tak akan mudah untuk ditaklukan kembali pada otoritarian. Maka hanya ada satu cara; Prabowo-Hatta menang maka akan mereka buat rusuh untuk memecah belah masyarakat dengan berbagai isu; mulai dari komunisme, separatis, Islam sesat, hingga kristenisasi (ingat rusuh tahun 1998-1999?).
Maka, dalam keadaan panik itulah psikologis manusia mudah untuk ditaklukan dan diatur. Mereka akan mudah amuk dan kemudian diredam dengan agresif oleh TNI. Maka, dengan mudah mereka akan mengembalikan neo Orde Baru, dengan senjata ampuh pamungkas; politik dan kerusuhan rasial jilid 2! Waspadalah!
http://m.merdeka.com/politik/fadli-zon-revolusi-mental-punya-akar-kuat-paham-komunis.html
Prabowo : Jika Masih Hidup Pak Harto Terpilih Presiden 2014. Sumber : merdeka.com
https://id.berita.yahoo.com/kivlan-zein-sebut-ada-bau-bau-komunis-di-054817205.html
http://m.merdeka.com/pemilu-2014/prabowo-saya-ingin-jadi-deng-shio-ping-indonesia.html
Mira W, Gema Sebuah Hati. Gramedia. 1982
Setiyono Budi dan Triyana Bonnie : Revolusi Belum Selesai : Kumpulan Pidato Presiden Soekarno – Pelengkap Nawaksara, Penerbit Ombak, Yogyakarta 2005. Hal. 43
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H