Sebuah laporan yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang baru diterbitkan pada bulan April lalu sungguh data yang mengejutkan. Betapa tidak, laporan tersebut mengoyak rasa kebangsaan kita sebagai suatu bangsa yang majemuk, karena menurut laporan tersebut, Indonesia kembali masuk dalam catatan buruk pelanggaran HAM dunia. Laporan yang dilaporkan oleh Maina Kiai dalam dokumen publik PBB bernomor A/HRC/26/29 tertanggal 14 April 2014 tersebut menyebutkan Indonesia pada halaman 13, dalam poin 4 dan 41.
Laporan yang disiarkan oleh PBB tersebut terkait kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Dalam jumpa pers yang diselenggarakan oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar menyebutkan bahwa catatan hitam itu terkait dengan laporan tentang kebebasan berkumpul dan berorganisasi bagi kelompok-kelompok minoritas dan rentan (15/05/2014). Isi laporan tersebut antara lain adanya tindak kekerasan yang dialami oleh kelompok agama minoritas di Indonesia, seperti Ahmadiyah, Bahai, Kristen, dan Syiah. Mereka mengalami serangan fisik dari kelompok militan Islam, dan penanganan yang minim dari pemerintah. Bahkan terkesan melakukan pembiaran.
Sebagai contoh, walaupun Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan yang mengukuhkan hak Jemaat GKI Taman Yasmin untuk mendirikan bangunan gereja mereka di Bogor, Jawa Barat. Tetapi pemerintah daerah menyegel bangunan pada tahun 2010 hingga kini, dan sejak itu menghalangi jemaat memasuki gereja mereka.
Catatan memalukan ini tetap saja mencoreng wajah perlindungan hak manusia di negara kita, walaupun sedari awal SBY sungguh berkomitmen untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas. Namun, itikad baik SBY tetap gagal dan menemui banyak hambatan karena selalu tersandera permasalahan, akibat lemahnya posisi tawar pemerintah terhadap kepentingan-kepentingan. Terlebih lagi jeratan politik bagi-bagi kursi dalam koalisi yang pada awalnya dianggap kuat namun akhirnya menjerat presiden sendiri.
Dari hal ini dapat kita lihat dengan jelas, akibat sanderaan dari partai-partai koalisi sendiri, maka sebaik apa pun itikad seorang presiden akan sangat sulit mengimplementasikannya. Karena, tentu saja niat baiknya itu harus sekali lagi dinegosiasikan dengan kepentingan-kepentingan partai pendukungya.
Wahai masyarakat Indonesia, marilah kita berkaca dari yang sudah-sudah. Dari kasus ini, dapat kita petik pelajaran bahwa niat baik semata tak mampu menghasilkan sebuah kebaikan. Karena diperlukan sumber daya yang memadai dan tata kelola yang tepat untuk menjadikan niat baik terkait penegakan HAM menjadi kenyataan yang baik.
Lalu pertanyaanya, jika komitmen dan itikad baik terkait HAM masih belum berhasil mewujudkan kondisi HAM yang baik di Indonesia, maka apa yang akan terjadi jika presiden kita nanti tak memiliki sedikitpun niat untuk itu?
Dari sini kita juga harus bijaksana dan berhati-hati dengan siapa yang akan kita pilih sebagai presiden untuk memimpin Indonesia ke depan. Dan jelas, bahwa ada persoalan yang jelas-jelas terlihat mengganjal bahkan mengancam dari salah satu kandidat, terutama terkait perlindungan terhadap HAM. Dialah Prabowo Subianto.
Untuk memilih seorang calon isteri saja kita mesti melihat bagaimana nanti ia akan mendampingi kita di masa depan. Apalagi urusan memilih presiden yang nantinya setiap tindakannya akan menentukan berapa harga sembako hari ini atau masih dapatkah kita rasa aman karena menjadi kaum minoritas di negeri ini. Mari kita lihat bagaimana seorang Prabowo kelak jika memimpin Indonesia.
Di satu sisi, masa lalu dia jelas-jelas legam oleh catatan pelanggaran HAM terkait tragedi Mei 1998, penculikan para aktivis, dan kerusuhan massal. Benar ia telah dipecat oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Tapi apakah masalahnya selesai begitu saja? Ksatria macam apa yang mau lari ke Yordania? Jelas-jelas jiwa perwira dan pemberani Prabowo telah hilang bersamaan dengan dipecatnya ia dari kesatuan. Jika ia telah dipecat, apakah menjadi sah mengatakan ia tak bersalah untuk dipertanyakan di depan pengadilan HAM? Contoh, apakah dengan dipecatnya Akil Mochtar oleh Dewan Kehormatan Hakim, lantas menghilangkan tuntutan pidananya? Jangan mau terbawa logika orang-orang yang mengatakan bahwa Prabowo tak bersalah.
Yang lebih harus dibaca dan diketahui oleh masyarakat luas adalah jika ingin memilih orangnya, ketahui benar-benar bagaimana pemikirannya. Jangan-jangan, ia memang merasa tak bersalah atas tindakan pembunuhan, dan itu termaktub secara legal di dalam manifesto partai. Sungguh menggelikan, sebuah institusi yang memperjuangkan demokrasi dan membela HAM seperti partai politik memiliki manifesto yang mengatakan bahwa ‘pengadilan HAM sungguh sesuatu yang belebihan dan tidak perlu’.
Seharusnya, masyarakat Indonesia tak hanya terbuai oleh gaya gagah dan mentereng tapi sungguh sulit ditemui bahkan untuk bersalaman sekalipun. Buka mata, dan buka Bab Pokok-pokok Perjuangan Partai Gerindra bagian Hak Azasi Manusia, di sana jelas-jelas tertulis bahwa adanya pengadilan HAM merupakan sesuatu yang overbodig (berlebihan). Bayangkan bagaimana jika Partai Gerindra menjadi penguasa, dan Prabowo memerintah Indonesia.
Selain itu, manifesto Partai Gerindra juga jelas menyebutkan niatannya untuk melakukan penjagaan terhadap pemurnian agama. Akun resmi Partai Gerindra bahkan terang-terangan menjelaskan bahwa orang atau kelompok yang terbukti melanggar kemurnian agama harus mendapat tindakan untuk membuat jera. Pemerintah macam apa yang hendak dibangun oleh Prabowo? Padahal, kelompok yang mengalami tindak pelanggaran HAM,menerima kekerasan dan dimuat dalam catatan PBB karena dituduh telah ‘melanggar kemurnian agama’.Lalu, tindakan ‘membuat jera’ seperti apa yang akan dilakukan Prabowo terhadap orang-orang yang berbeda dalam memilih cara beriman ini?
Siapa kita? Kita hanya manusia biasa, bukan setingkat Nabi. Sedangkan Nabi Muhammad sekalipun begitu menyayangi pengemis buta Yahudi yang tetap disuapinya setiap hari hingga beliau meninggal, padahal sembari itu si pengemis Yahudi menjelek-jelekkan Muhammad di depan wajahnya. Siapa yang bisa sehebat Muhammad dalam militer dan perang? Kurang berwibawa apa seorang Muhammad?
Dan yang terlebih berdampak pada perut rakyat Indonesia, adalah akibat catatan buruk Prabowo akibat pelanggaran HAM, dan indikasi yang sangat buruk terhadap perlindungan HAM di Indonesia. Maka hal tersebut merupakan ancaman serius terhadap masa depan Indonesia. Masyarakat Internasional akan kehilangan selera untuk menjalin kerjasama berbagai bidang dengan Indonesia, terlebih lagi soal ekonomi. Jika kondisi penegakan HAM di Indonesia dianggap buruk, maka para partner ekonomi indonesia di lingkungan internasional pun akan menarik atau mempertimbangkan kembali kerjasamanya. Selama pemerintahan SBY saja yang memiliki itikad baik penegakan HAM saja dicatat buruk oleh PBB, atmosfer perekenomian dan investasi juga tak begitu cerah.
Lalu akan seperti apa catatan PBB dan dunia Internasional melihat jika seorang pelanggar HAM dan penganut fasis seperti Prabowo memerintah negeri ini? Kita patut bertanya dengan kritis, seperti apa taring macan Asia yang kerap digembar-gemborkan oleh Prabowo jika para mitra bisnis Indonesia enggan bekerja sama dengan negara yang dipimpin seorang pelanggar HAM?
Dalam kondisi itu, jangan-jangan Indonesia bukannya menjadi Macan Asia, tapi malah dipandang sebagai Setan Asia. Bukan negara yang aman untuk orang yang berbeda suara, berbeda pandangan, dan berbeda keyakinan. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita tak ingin itu terjadi, dan kita turut bertanggung jawab untuk mencegah, jangan sampai hal itu terjadi. Anda jangan harap ia akan peduli dengan hak azasi Anda sebagai manusia merdeka. Dan itu legal dilakukan, karena mereka telah berkuasa, dan yang masyarakat Indonesia punya hanya penyesalan. Mengapa begitu terlambat untuk membaca apa ‘isi kepala dan isi hati’ orang yang dipilih sebagai pemimpin.
Oleh : Sindikat Jogja
twitter @sindikatjogja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H