Mohon tunggu...
Sindikat Jogja
Sindikat Jogja Mohon Tunggu... -

Paguyuban Jogja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prabowo dan Cara Basi Orde Baru

21 Mei 2014   07:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:17 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pasangan capres-cawapres Prabowo dan Hatta Rajasa sudah dideklarasikan pada Senin, 19 Mei lalu. Namun sepanjang minggu sebelum itu, masih saja beberapa tokoh dari PPP ataupun PKS yang menyampaikan keberatannya atas bursa cawapres Prabowo. Penunjukkan Hatta Rajasa memang sepihak, karena dua partai pendukung selain PAN sama sekali tidak dilibatkan dalam penentuan cawapres dalam koalisi. Padahal sesuai kesepakatan awal, sang calon presiden berjanji akan melibatkan setiap parpol koalisi untuk menentukan wakilnya. Walaupun pada akhirnya kedua parpol tersebut menerima pencalonan Hatta Rajasa, namun tak dapat disembunyikan kegusaran elite PPP dan PKS atas perilaku ingkar Prabowo atas kesepakatan yang digagasnya sendiri.

Selain itu, yang sungguh diragukan oleh PPP dan PKS adalah elektabilitas Hatta Rajasa sebagai cawapres mendampingi Prabowo. Secara tegas, pun PPP atau PKS sebelumnya memang tak haqul yaqin atas kemampuan Hatta Rajasa mendongkrak perolehan suara pada pilpres mendatang. Karena seperti yang kita tahu, Hatta Rajasa dianggap representasi kalangan Muhammadiyah. Sungguh tak meyakinkan jika ia mampu menggaet dukungan dan menggalang simpati dari kaum nadhliyin. Padahal PPP memiliki hutang janji dan komitmen dengan sesepuh mereka, untuk memilihkan cawapres dari kaum nadhliyin untuk mendampingi Prabowo. Menjawab keraguan itu, wasekjen PAN, Kuntum Khairu Basa menyebut  bahwa Hatta Rajasa dalah warga Nadhliyin yang sejak kecil lahir dan tumbuh dari kalangan NU.

Apa perlu komentar seperti itu dilontarkan hanya demi membalas sinisme atau keraguan kawan satu koalisi? Tak perlu pula kiranya mengada-ada, mesti mencari pembenaran, jika memang kita bukan datang dari satu identitas yang sama. Karena toh, bangsa ini tidak pernah hidup hanya dari satu golongan saja. Pembelaan apapun itu, sesungguhnya yang menang adalah Orde Baru. Mengapa demikian?

Jelas saja, cara-cara mengotak-kotakkan masyarakat dengan politik aliran ini adalah salah satu dari sekian banyak metode operasi Orde Baru untuk mengontrol kekuasaan dan menundukkan warga negara. Dan praktik ini pun juga berhasil dipakai oleh Prabowo dalam lingkaran koalisinya. Bukan bermaksud memecah-belah koalisi tentu saja, tetapi membuat dirinya memiliki posisi tawar yang semakin kuat. Prabowo ingin melihat sejauh mana parpol pengusungnya itu kuat beradu argumen berebut perhatiannya dan juga kepercayaannya. Seakan-akan ia ingin menguji, bagaimana jadinya parpol peserta koalisi bersamanya ini akan bersikap jika ada hal-hal yang di luar kesepakatan diambil oleh Prabowo nanti. Singkat kata, Prabowo ingin melihat sekuat dan seloyal apa parpol koalisi kepadanya. Apakah akan pergi dan berani menantangnya jika ada hal yang tak diinginkan atau tak disukai dalam koalisi mereka.

Praktik politik adu domba memang khas Orde Baru, maklum pemimpin rezimnya adalah bekas tentara KNIL didikan Belanda yang memang mencetuskan politik devide et impera. Orde Baru memang memperkuat sentimen-sentimen aliran oleh hingga titik klimaks. Voila! Pada akhirnya seperti yang telah bisa diprediksi, warga negara hidup dalam keadaan saling mencurigai, bahkan saling bermusuhan, hingga saling membunuh antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Masih ingat hot news jaman Orde Baru dulu seperti kristenisasi, yang marak terdengar di tengah masyarakat berpenduduk mayoritas Islam. Istilah sensitif ini sengaja dipakai oleh golongan Islam puritan atau ekstrim kanan untuk memojokkan kelompok minoritas Kristen. Kurun dekade 1990-an, isu ini sungguh meresahkan masyarakat. Namun menanggapi hal ini, Alm Gus Dur pun melontarkan guyonannya yang terkenal terkait sentimen di kalangan Islam sendiri.

Dalam anekdot tersebut, Gus Dur mengisahkan petugas sensus penduduk tahun 1990-an yang bertugas di Madura. Seorang kepala desa di Madura bertutur kepada petugas sensus bahwa penduduk desanya 95% beragama Islam, dan hanya 5% yang Muhammadiyah. Cerita yang sungguh menggelikan, bahkan sesungguhnya menyedihkan. Inilah kondisi masyarakat Indonesia dua puluh tahun lalu yang disindir oleh Gus Dur. Potret yang menggambarkan betapa Orde Baru memelihara sentimen aliran, berbeda maka lawan, meski satu agama sekalipun. Dan yang lebih menyedihkan lagi, gaya politik seperti ini kembali diternakkan oleh Prabowo, bahkan hingga ke panggung elit, dalam proses politik penentuan calon pemimpin negara ini.

Sepertinya kita memang tak pernah belajar atau barangkali tak pernah jera untuk berkonflik dengan saudara sendiri, tentang hal-hal yang tak mampu diputuskan oleh khidmat manusia. Contoh saja gejala tahunan yang terbilang edan, jika dulu saban Ramadhan memperdebatkan jumlah rakaat shalat tarawih. Lepas dari Orde Baru, gejala tahunan edan juga bertambah dengan perbedaan awal-akhir Ramadhan atau penetapan 1 Syawal.

Apa mau dikata, memang butuh waktu lama untuk menyadarkan bangsa ini bahwa pilihan iman dan keyakinan adalah persoalan pribadi. Dan tidak seharusnya dicampuradukkan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Apalagi jika negara hendak bertindak sebagai penjaga kemurnian agama dan ajaran, sebagaimana Manifesto Partai Gerindra yang benar-benar offside. Sepertinya bukan Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi pijakan manifesto tersebut.

Sepertinya petinggi partai Islam peserta koalisi bersama Prabowo ini lupa, bahwa ini adalah bulan Rajab, sebentar lagi memasuki Ramadhan. Tetapi, marilah kita masyarakat saja yang tetap mengambil hikmahnya. Bahwa masing-masing kita warga negara seharusnya meminimalisir munculnya sentimen yang bisa mengungkit lagi penguatan politik aliran.

Momentum pilpres yang juga bersamaan dengan Bulan Ramadhan, juga dapat kita maknai sebagai satu catatan dan evaluasi. Indonesia ke depan memerlukan pemimpin yang mampu menjembatani perbedaan antara golongan demi membangun bangsa. Bukan malah seperti yang kemarin lalu dipertontonkan oleh Prabowo dan rombongan koalisinya, yang masih saja mempersoalkan muhammadiyah-NU.

Ditambah lagi dengan semakin terlihatnya ketegasan Prabowo hanyalah artifisial, karena ia seperti membiarkan ungkapan-ungkapan politik aliran agama terlontar dari dalam koalisinya. Ia bukannya memperlihatkan niat untuk menjembatani secara internal, sehingga perang statement pun menjadi santapan media.  Ah, jangankan berbicara tentang rajut kebangsaan Indonesia yang majemuk, untuk menjembatani jarak antara NU dan Muhammadiyah pun tampaknya menjadi persoalan berat bagi Prabowo. Atau barangkali memang tak ada niatan untuk itu, seperti halnya cara picik Orba.

Sebaiknya kita kembali bertanya, sebenarnya apa itu ketegasan yang diumbar-umbar oleh Prabowo? Apakah hal itu benar eksis pada dirinya ataukah hanya gincu kosmetik pencitraan belaka. Apakah ketegasan itu untuk menjembatani kepentingan nasional yang jamak, ataukah sekedar ketegasan untuk memaksakan kepentingan dan ambisi pribadinya? Jika menjawab pertanyaan kedua, itu tak layak disebut ketegasan, tetapi kekerasan demi ego sendiri. Pantas pula kita khawatir, jika konflik sosial kebangsaan kembali menganga, dan kembali lagi kita melihat saudara meminum darah saudaranya sendiri. Politik adu domba, siapkah kita saksikan lagi?

Ditulis Oleh : Sindikat Jogja

Twitter : @sindikatjogja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun