Mohon tunggu...
Sindikat Jogja
Sindikat Jogja Mohon Tunggu... -

Paguyuban Jogja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Islam di Sekeliling Prabowo

24 Mei 2014   20:11 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:09 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari Kamis lalu, kita masyarakat Indonesia disuguhi komedi yang lebih lawak daripada Opera van Java. Mungkin juga ada yang tak tertawa, tapi menangis tanda menghina atau mencemooh, bisa saja. Bagaimana seorang Menteri Agama ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Kutukan apa lagi bagi bangsa Indonesia?

Yang lebih membuat muak bahkan mungkin kita sampai meludah dalam amarah, bahwa yang dikorupsi adalah dana penyelenggaraan haji. Amboi, sungguh menyedihkan. Barangkali, dana yang mereka makan dengan rakusnya itu adalah uang yang dikumpulkan oleh petani-petani tua di pedesaan yang menabung dari bulir-bulir padinya, atau laba dari berjualan ketela. Sungguh, perjalanan haji adalah impian setiap mereka yang ingin menuntaskan kewajiban mereka sebagai manusia beragama.

Demikian menyayat hati kita, jika ingat tubuh ringih nenek atau kakek kita, yang dalam pensiunnya masih berharap dan menabung untuk dapat mengunjungi Baitullah. Dan bayangan itu harus rusak terkoyak-moyak oleh perampok pemakan uang yang bukan dari hasil keringat mereka. Miris rasanya, mendengar rumah besar umat beragama di Indonesia itu menjadi sarang tikus-tikus pengerat. Yang tak kalah menyedihkan, tersangka juga menjabat sebagai ketua PPP yang selalu mengklaim diri sebagai partai islami.

Lengkap sudah, tahun lalu ketua PKS yang juga mengaku Islami dicokok KPK terkait kasus korupsi impor daging sapi. Tentu, umat Islam Indonesia berduka menyaksikan kasus ini. Dan tentu saja, ini bukan kesalahan umat Islam, tapi kesalahan para politisi yang MENJUAL ISLAM demi memperkaya diri, dan menggerogoti uang yang terkumpul juga dari rezeki umat Islam itu sendiri. Naudzubillahi mindzalik, semoga Allah menyadarkan mereka. Dan juga kita yang masih tetap percaya, bahwa mereka yang fasih berbicara agama, terkadang pada mereka pula kemungkaran berada.

Duhai, umat Islam Indonesia sesungguhnya adalah umat islam yang beriman. Dan jika kita mau berkaca, mayoritas umat Islam yang benar-benar zuhud dan iman di dalam hatinya, tak pernah menjual dan menyombongkan keislamannya. Hanya tong kosong yang nyaring bunyinya. Cukuplah seperti Nabi Muhamamd, yang ke Islamannya dapat dilihat dari perbuatan dan sifat diri yang melekat padanya. Maka, jika kita melihat kepada Nabi kita, simbol tak lagi penting. Untuk menjadi orang beragama, maka beragama kita dengan perbuatan. Jika kita berbuat baik, maka baiklah iman kita. Jika kita mampu berbuat dzolim seperti korupsi dana Haji, cukuplah kita tahu di sudut mana diletakkan iman di hati kita.

Prinsip keimanan yang lebih tercermin pada perbuatanadalah cara masyarakat Indonesia beriman selama berabad-abad. Karena itu pula, masyarakat yang sebenar-benar beriman, sungguh tahu bertoleransi. Tidak pernah mau mencap orang lain adalah kafir. Jika bangsa ini tak pernah bertoleransi atau terlahir dari tangan-tangan orang ekstrimis yang latah berucap kafir, maka Republik Indonesia ini tidak akan pernah berdiri. Oleh karenanya jelas sudah, bukan orang-orang seperti itu pula yang dibutuhkan agar Indonesia ini tetap bertahan dan kuat.

Marilah kita cermati Pancasila, pondasi pertama bangunan Republik Indonesia ini adalah keimanan, kemudian dilapis dengan kemanusiaan yang beradab. Barulah terwujud Persatuan Indonesia. Dari sanalah kita menjadi tahu, bahwa para pendiri bangsa ini benar-benar sadar, Indonesia adalah milik bersama. Di dalamnya ada etnis, agama, golongan, dan kebudayaan yang berbeda. Karena itulah kita menganut ideologi Pancasila, bukan ideologi agama.

Lalu, apa yang dilakukan para elit politik yang mengaku Islam ini? Di satu sisi mereka sangat lantang meneriakkan keislaman, tapi di sisi lain kita semua melihat perilaku mereka telah menghina Tuhan. Mereka ini tak lebih dari orang-orang yang menjual Tuhan demi keuntungan pribadinya. Mana yang lebih mulia, orang-orang yang lantang teriak Islam tapi perilakunya berkata sebaliknya, atau orang yang tak pernah menggembar-gemborkan keislamannya, berperilaku sesuai tuntunan Allah?

Saya pilih yang kedua. Agama adalah urusan kita dengan Tuhan, tak ada yang bisa memvonis keyakinan kita, tapi iman itu bisa terlihat dari perilaku keseharian. Karena surga dan neraka bukan milik kita, tetapi milik Allah. Marilah kita membuka hati untuk pikiran yang jernih. Sungguh dalam kedustaan yang besar, orang-orang yang berbicara ayat Tuhan tapi perbuatannya sungguh jauh dari prinsip rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Bahkan kehadirannya tak lebih bak kaum perusak yang telah disebutkan dalam Al Quran.

Jika kita terbiasa hidup jujur, sederhana, bekerja keras, dan menghargai orang lain, maka iman kita akan terjaga. Tanpa perlu menyombongkan identitas agama, Tuhan akan selalu menjaga iman orang yang berperilaku seperti itu. Sebaliknya, orang-orang yang biasa hidup mewah, berfoya-foya, munafik, gemar menfitnah, egois, tidak menghargai orang lain, pastilah iman mereka telah rusak. Mau sekeras apa pun mereka berteriak-teriak tentang identitas agamanya, Tuhan akan tetap murka dengan perilaku mereka. Dan cepat atau lambat, Allah akan memperlihatkan jati diri mereka. Tak pun di akhirat, toh di dunia telah ditunjukkan sesungguhnya mereka.

Terus terang atau kita simpan di dalam hati, jika kita melihat para pejabat mengatasnamakan agama untuk memperoleh jabatan, lalu merampas kekayaan negara demi isi perutnya, sekali waktu kita pernah mengganggap mereka tak lebih baik dari setan.

Hari ini, tampaknya dua golongan umat Islam di Indonesia terlihat semakin kental. Kita semua melihat bagaimana Prabowo dengan koalisinya selalu mengklaim dukungan dari partai-partai dan umat Islam. Tentu, di sini kita perlu bertanya, umat Islam yang mana?

Umat yang mengaku-ngaku Islam tapi hidup mewah dari hasil korupsi?

Itu bukan cerminan umat Islam Indonesia. Umat Islam Indonesia adalah mereka yang tak menggembar-gemborkan agamanya, tapi hidup dengan jujur, sederhana, suka bekerja keras, dan menghargai orang lain.

Faktanya, dua partai Islam yang saat ini memberikan dukungan pada Prabowo sudah menunjukkan dosanya secara nyata, yaitu DIKETUAI OLEH KORUPTOR. Tahun lalu, ketua umum PKS, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) terjerat kasus korupsi, dan sekarang Surya Dharma Ali (SDA) ketua umum PPP. Lebih menyedihkan lagi kalau kita melihat gaya hidup para penjual nama Tuhan ini. Luthfi Hasan Ishaaq kita tahu memiliki empat orang istri, masing-masing istrinya diberi rumah pribadi dengan berbagai fasilitas dan mobil pribadinya. Itu belum termasuk sebelas anaknya yang tentu juga menghabiskan biaya tak sedikit untuk kehidupan sehari-harinya.

Salah satu isterinya yang masih berusia di bawah 20, juga diberi rumah dan mobil pribadi. Isteri pejabat, sepertinya harap bergaya hidup dan berpenampilan kere. Tak hanya itu, perlu dicatat juga bahwa Luthfi Hasan Ishaaq menghabiskan ratusan juta rupiah untuk HANYA memodifikasi sound system mobilnya. Entah dalil apa yang digunakan ustadz ini untuk membenarkan gaya hidupnya. Entah berapa mulut anak yatim yang bisa kenyang di malam hari dengan uang ratusan juta demi perangkat suara di mobil mewahnya itu.

Setali tiga uang, Surya Dharma Ali pun menerapkan gaya hidup yang serupa. Meski pun secara resmi dia hanya mengakui satu isteri dengan delapan anak, tapi sudah banyak yang tahu kalau dia juga punya isteri dengan pernikahan siri. Isteri simpanan ini malah seorang model senior. Tentu saja, tak murah juga membiayai isteri seperti itu. Akhirnya, mau setinggi apa pun jabatan jika gaya hidupnya telah mementingkan kenikmatan pribadi, tetap saja tidak akan cukup mengandalkan gaji dan tunjangan jabatan menteri.

Tampaknya, itu juga yang membuat para politisi yang gemar berbicara keislaman itu terjerat kasus korupsi. Dan yang tak kalah perih, SDA mengembat biaya penyelenggaraan haji demi kepentingan pribadi. Mungkin inilah yang ditangisi oleh Nabi Muhammad sebelum ia meninggal dunia, menangisi umatnya yang munafik, berbicara fasih beragama tapi hidup dan berfoya-foya menghisap keringat dan darah orang lain. Naudzubiillahi mindzalik. Jauhkan kami dari hidup yang penuh kemungkaran ya Allah.

Jadi, bagaimana mereka bicara keislaman, kepentingan umat, kepedulian kepada mulut-mulut yang lapar yang menadahkan tangan di persimpangan jalan, sementara mereka tak berpuas diri memenuhi nafsu pribadi? Lupakah mereka jika Nabi Muhammad sang saudagar kaya dengan harta yang halal saja tak mau makan gandum berlebihan jika masih ada masyarakatnya yang kelaparan. Itukah mereka yang mengatasnamakan umat Islam, sementara perilaku mereka menginjak-injak nilai keislaman dan menjual murah harga diri umat Islam Indonesia?

Apakah partai-partai Islam itu membawa aspirasi umat Islam dan hadir untuk menjadi media dakwah keimanan? TIDAK. Sebagai orang Islam, saya malu dengan perilaku mereka. Semoga, Tuhan mencabut rizki orang-orang yang kencang berteriak Islam tapi perilakunya menghina Allah itu. Semoga uang yang dirampas dari keringat orang-orang tua miskin di persawahan, dikembalikan berkah dan rahmatnya ke kehidupan mereka.

Jika kita sebagai umat masih percaya kepada kebohongan dan tingkah fasiq para pemimpin partai Islam itu, masih memilih mereka sebagai pemimpin di negeri ini, maka kita telah bersama-sama pula berbuat kemungkaran di muka bumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun