Di sela-sela minum kopi hari Minggu ini, apakah masih ada yang menyesalkan siapa pemenang Indonesian Idol yang baru saja berlalu? Tapi, bisa saja sembari menyayangkan mengapa bukan jagoan Anda yang menang, barangkali Anda juga terganggu dengan kehadiran Prabowo pada final ajang tersebut. Ide siapa lagi jika bukan ide Hary Tanoe untuk memasang Prabowo dalam acara tersebut. Sungguh menggelikan, jika pada final ajang pencarian bakat sebelumnya, Wiranto yang didatangkan. Sungguh, Hary Tanoe berupaya betul untuk meng-endorse siapapun tokoh yang tengah didukungnya (atau dikerjainya?)
Sebenarnya, siapa Hary Tanoe ini, kok serta merta sekonyong-konyong hadir ke panggung politik nasional dan langsung pula menjadi pemimpin? Hary Tanoe yang akrab dipanggil HT ini adalah pengusaha asal Surabaya, namun apakah karir politik yang belum genap 3 tahun ini, patut dibilang politisi? Hary Tanoe ini sepertinya gemar berpindah-pindah, masuk kancah politik baru 3 tahun sudah rajin pindah parpol, bahkan juga suka mengacak-ngacak parpol yang sudah kokoh.
Lalu, sekarang mantan calon wakil presiden dari Hanura ini merapat ke kubu Prabowo di saat partainya mendukung koalisi yang lain. Mengapa?
Petualangan politik HT dimulai akhir 2011 ketika dia menyatakan bergabung dengan Partai Nasdem. Sungguh pintar caranya memulai langkah pertama, masuk ke partai baru. Karena di partai lain yang sudah established, ia hanya akan dianggap anak bawang. Jadilah, kedatangannya disambung baik oleh Nasdem, dengan memberi kursi terhormat, yaitu Ketua Dewan Pakar Partai NasDem. Pengusaha media ini pun langsung unjuk diri dengan menggeber semua media miliknya, memamerkan status politiknya, menyematkan dirinya dalam iklan partai dan menunjuk dirinya sebagai tokoh. Di setiap acara medianya, dia menyisipkan diri tampil sebagai politisi baru.
Mantera yang sering ia pakai adalah; Saya pengusaha yang tak kurang apa pun, semata-mata terjun ke dunia politik demi kepentingan bangsa. Benarkah begitu?
Baru setahun bergabung dengan NasDem, modusnya mulai terbuka. Apa yang dibilang sebagai pengabdian, benar-benar tak terlihat dalam perilaku politiknya. Kehadirannya yang diharap menjadi suplemen kekuatan Partai NasDem, justru menjadi duri dalam daging. Menjelang kongres pertama NasDem, pertikaian kubu HT dengan Surya Paloh menguat. Berita media menyebutkan HT tak sepakat Surya Paloh memimpin Partai NasDem, dan menginginkan Ahmad Rofiq yang lebih muda agar memimpin. Itu yang selalu jadi alibi HT yang akhirnya keluar dari NasDem.
Dan fakta belakang layar yang sesungguhnya berbicara lain. Hary Tanoe keluar dari NasDem lantaran tak sampai kata sepakat untuk mengajukan dirinyasebagai kandidat Pilpres 2014. HT sudah keluar modal banyak untuk menayangkan iklan-iklan NasDem. Maka karena itu dia merasa layak dan berhak menjadi kandidat.Sang pengusaha ini memang murni pengusaha rupanya. Keluar modal berapa, meminta kembali dalam bentuk yang lebih mahal; dicalonkan sebagai presiden atau wapres dari NasDem. Terang saja itu ditolak oleh elit Partai NasDem.
Alasannya adalah, pertama, NasDem sedari awal berkomitmen tidak mengusung kandidat jika tidak masuk tiga besar pemilu legislatif 2014. Kedua, walau sekaya apapun seorang HT, iatetap orang baru di dunia politik. Dia masih bau kencur, belum berpengalaman sebagai pemimpin politik. Mana ada cerita orang baru sekonyong-konyong muncul mau jadi Capres atau Cawapres?
Karena kepentingannya tak terjembatani, keinginannya tidak terkabul, maka HT hengkang dari NasDem dengan membawa Ahmad Rofiq dan para pendukungnya. Tak berhenti di situ, HT dan para pendukungnya mendramatisasi langkah keluarnya dari NasDem. Para pendukungnya tidak keluar secara bersamaan, tapi ditarik secara bertahap; diatur agar setiap hari ada wilayah atau daerah yang keluar dan diliput oleh media. Maka, setiap hari dia mengatur agar ada aksi pengunduran diri disertai dengan teatrikal bakar-bakar atribut NasDem, dan sebagainya. Sehingga, melalui jaringan medianya, HT dapat mengatur pemberitaan bahwa hampir di seluruh Indonesia ada gejolak kader yang keluar dari NasDem.
Tentu saja, semua itu diliput media-media milih HT, sehingga mengesankan setiap hari ada kelompok yang mengikuti jejaknya keluar dari NasDem, dan partai itu telah keropos dan benar-benar menolak hasil kongres. Dengan begitu, dia berharap akan mempengaruhi opini publik untuk menggembosi Partai NasDem.
Lepas dari NasDem, dia mendirikan Perindo untuk menampung para pengikutnya. Tentu saja itu adalah jalan yang paling realistis, karena jika ingin membangun partai sendiri sudah terlambat, pendaftaran KPU sudah tutup. Dia membangun ormas Perindo untuk persiapan sebagai parpol untuk Pemilu 2019. Dan tentu saja, sebagaimana telah disebutkan, ia adalah pengusaha yang tentu tak mau rugi. Sudah banyak uang yang dikeluarkan, sungguh rugi jika hanya menjadi penonton pemilu 2014 ini.
Manuver-manuver pun terus dilakukan, ia mulai menjajakan diri ke partai-partai yang ada. Hingga akhirnya mendapat jabatan di Hanura. Awalnya, Hanura bersorak-sorai menerima bohir kaya itu. Mereka yakin dan berharap besar, berkat kedatangan HT maka dapat mengeluarkan Hanura dari juru kunci parlemen yang selama ini disandang. Harapan yang besar agar partai ini dapat mendongkrak elektabilitasnya di pileg 2014. Jadilah HT dipercaya sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu Hanura.
Tapi, sekali lagi, hitung-hitungannya begitu sederhana; HT akan berbuat sesuatu jika menguntungkan baginya. Tentu saja ia masih teguh pada keinginannya; menjadi capres atau cawapres. Posisi Hanura terjebak pada dilemma, di satu sisi mereka butuh sokongan taipan media itu, di sisi lain mereka sudah punya kandidat, Wiranto. Jadilah diambil kompromi, mengajukan kedua nama itu bersamaan, Wiranto-Hary Tanoe sebagai capres-cawapres Hanura
Apakah ini memuaskan bagi HT? Ternyata tidak.
Dia sudah sadar sedari awal bahwa Hanura tak mungkin mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri. Angka 25% suara sah nasional atau 20% jumlah kursi di parlemen begitu jauh dari kenyataan Partai Hanura saat ini. Sehingga paling mentok, Hanura hanya bisa mengajukan salah satu kandidat, capres sajaatau Cawapres saja. Tak selesai di situ, dalam hitungan HT, jika suara Hanura cukup bagus di atas 7%, maka Hanura akan mengajukan kandidat Wiranto sebagai capresnya. Artinya, dia akan kehilangan kesempatan itu. Dia tidak dapat membiarkan Wiranto memiliki posisi tawar lebih dibandingkan dirinya, di depan parpol lain.
Untuk itulah, secara sadar, ia harus membuat perolehan suara Hanura tak usah terlalu tinggi, sembari juga membuat posisi tawarnya di internal semakin baik, sebagai Ketua Bappilu. Sehingga ia tidak kehilangan dorongan untuk disorongkan sebagai cawapres nantinya. Caranya adalah dengan menahan kucuran dana saksi Partai Hanura yang pada awalnya dia janjikan. Sebelumnya, juga HT menahan kucuran dana kampanye untuk kader-kader Perindo yang maju sebagai caleg Hanura, walaupun juga telah ia iming-imingi sedari awal.
Tujuannya hanya satu; menggembosi partainya sendiri agar suaranya tak cukup kuat untuk mengajukan Wiranto sebagai capres. Maka tak heran, kader Hanura seperti Yuddy Chrisnandi menyebut HT sebagai biang kekalahan Hanura di pilpres ini, tetap jeblok dalam urutan 10.
Lalu, kalau HT benar-benar maju sebagai cawapres, dengan siapa akan berpasangan? Sebenarnya, sedari awal HT sudah main deal dengan ARB untuk maju sebagai pasangan capres-cawapres. Silakan cek hasil Pileg 2014 ini, dengan perolehan suara 14,75% dan 91 kursi parlemen, sebenarnya Golkar hanya membutuhkan tambahan 21 kursi untuk mengajukan pasangan capres-cawapres. ARB dan HT sudah jauh hari menyusun skenario duet taipan media dalam kontestasi Pilpres mendatang. Dalam hitungan HT, perolehan 5,26% suaraHanura akan mendapat cukup kursi untuk digabungkan dengan Golkar dan mengusung kandidatnya.
Tapi, sekali lagi, tampaknya HT memang masih politisi bau kencur, dan harus lebih banyak belajar politik. Angka 5,26% suara Hanura tak sebanding dengan persentase kursi yang didapat. Jika perolehan kursi merata, memang besaran suara itu bisa memperoleh 29 kursi, sangat cukup untuk digabungkan dengan Golkar. Dan Bakrie pun sudah siap-siap menerima kedatangan Hanura. Buktinya, seminggu setelah Pileg, dia sudah menyatakan arah koalisi dengan Hanura. Tapi tentu saja tak semudah itu, situasi terus berubah. Kalau pun kursi Hanura cukup untuk digabungkan dengan Golkar, di Hanura masih ada pendukung Wiranto yang belum tentu mau mendukung pasangan ARB-HT.Karena banyak pula faksi pendukung Wiranto yang sama-sama keluar dari Golkar dan mendirikan partai itu bersama-sama.
Alhasil, jumlah kursi Hanura tak cukup untuk dipasangkan dengan Golkar. Duet ARB-HT pun kandas, tak ada kesempatan untuk dideklarasikan. Pupus sudah harapan HT sebagai kandidat cawapres. Dasar pengusaha, ia tak pernah luput dari hitung-hitungan. Serugi-ruginya ia dalam kontestasi pemilu kali ini, HT sudah memiliki investasi untuk pilpres 2019. Tak dapat dipungkiri, nama politisi yang digembar-gemborkan sebagai capres pada tahun ini, baik itu jadi diusung atau tidak, ia tidak akan kesulitan lagi membangun keterkenalan pada periode mendatang.
Walau harus gigit jari, tapi uang miliaran yang telah ia keluarkan, mampu membuatnya menjadi tokoh politik di negeri ini. Dengan cara instan; hanya 3 tahun. Bayangan popularitas dan elektabilitas yang lebih baik akan menyongsong pada 2019. Itulah yang sedang ditabung HT.
Tampaknya ada pelajaran besar bagi HT dari pemilu tahun ini; logika bisnis tak sama dengan logika politik. Gayanya yang bak petualang seperti koboi liar yang mengacak-acak parpol kemudian pergi, karena keuntungan yang ia harapkan tak terpenuhi. Menurutnya, dengan uang yang telah dikeluarkannya selama 3 tahun ini, mampu membeli sebuah legitimasi dan ketokohan seorang politisi. Bangun, Pak! Sungguh jauh panggang dari api!
Dia gagal memahami, bahwa politik adalah dunia manusia yang tak sepenuhnya bisa dikalkulasi secara matematis, hanya berdasarkan untung rugi. Oleh karenanya, untuk naik level sejajaran politisi elit, dia tak mau membangun partai sendiri. Ia memilih menumpangi partai orang lain, tapiberharap mendapat tiket politik yang besar.
Untuk itulah, demi survive di pemilu 2014 ini ia mesti memutar otak dan mengalkulasikan lagi keuntungan dan cost. Maka, bergabunglah ia ke Prabowo, tidak sejalan sama sekali dengan Partai Hanura. Itulah yang menuai komplain dari kalangan Hanura. Wiranto sendiri menyebut langkah bisnis HT yang seperti itu tak bisa diterapkan dalam politik. Tapi, tetap saja pilihannya adalah kubu Prabowo, melihat bahwa dari kubu Prabowo ia dapat mengeruk keuntungan bagi perusahaan medianya.
Dan yang paling penting, HT meminta jatah menteri kepada Prabowo. Hal yang tak mungkin bisa ia dapatkan jika mengikuti Hanura. Menteri Komunikasi dan Informasi, adalah tujuannya dalam 5 tahun ini, sembari mempersiapkan organisasinya menjadi partai di 2019. Tentu saja ia tak ingin rugi, membangun partai bukan hal yang murah, maka dengan jabatan menteri di tangannya, ia memiliki kuasa pada modal dan jaringan.
Dan demi menunjukkan keseriusannya untuk mendukung Prabowo, ia mau memperkosa kebebasan pers dan menginjak-injak kode etik jurnalistik. Hary Tanoe menerapkan peraturan yang sangat banal dan kasar, mendistorsi berita secara kasar demi menyelamatkan Prabowo dan mitra koalisinya. Dia menginstruksikan pemblokiran semua berita negatif Prabowo. Salah satunya, melarang semua berita terkait kasus korupsi Surya Dharma Ali untuk disiarkan dan dimuat oleh jaringan medianya.
Inilah watak-watak para pendukung Prabowo. Mereka menghalalkan segala cara untuk kemenangan. Walaupun itu menginjak-injak etika, kebebasan pers, dan merampas hak rakyat untuk mendapatkan informasi yang sesungguhnya. Segala yang mereka lakukan, tak jauh-jauh dari persoalan perut. Oleh karena itulah, koalisi yang mereka bangun sungguh kentara sebagai kumpulan para koboi pencoleng. Mereka adalah kumpulan kepentingan para elit, yang nantinya akan memperlihatkan belangnya ketika (kembali) berkuasa.
Facebook           : Sindikat Jogja
Twitter                : @sindikatjogja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H