Alkisah, beberapa hari yang lalu seorang teman naik angkot dari Ciputat ke Jakarta. Ia turun di sekitar Kebayoran Baru. Setelah turun, ia menyempatkan mampir ke warung kopi. Di warung kopi itu ada beberapa sopir taksi yang sedang mangkal dan nampak bercakap-cakap. Sambil ngopi, teman tersebut menyimak obrolan mereka. Ternyata tentang Pemilu Presiden 2014 mendatang.
Seperti biasa, obrolan dipenuhi dengan siapa jago masing-masing dan apa keunggulannya. Teman saya tertarik dan masuk dalam obrolan dengan menceritakan pilihannya. “Tadinya saya memilih Prabowo. Tapi setelah kejadian di KPU saat Prabowo memukul seseorang sampai berdarah-darah, saya jadi ragu sama dia. Lalu ada teman yang billboard-nya (billboard salah satu layanan operator) diturunkan paksa oleh timses Prabowo-Hatta, karena mereka mau pasang iklan politik. Saya jadi makin yakin untuk nggak milih dia,” tutur teman saya.
“Ya itulah bang,” sahut salah seorang sopir. “Banyak dari kita juga tadinya milih Jokowi karena keliatannya orang baik. Tapi kita ini takut rusuh. Nanti kalo sampai Prabowo kalah dan terjadi kerusuhan, kan kita juga yang rugi,” lanjutnya. Jawaban sopir ini diiyakan teman-temannya yang lain.
Teman saya tercekat. Ia tak menyangka akan mendapat jawaban itu, jawaban dengan kata “rusuh” dan “kerusuhan” di dalamnya. Dari mana kata-kata itu muncul? Apakah cuma rekaan si sopir taksi? Jelas, itu bukan hal yang muncul tiba-tiba. Kemungkinannya, ada yang menghembuskan isu tersebut atau ketakutan si sopir taksi jika Prabowo-Hatta kalah maka pendukungnya tak bisa menerima dan terjadi rusuh. Bukan rahasia lagi, salah satu ormas pendukung Partai Gerindra memiliki reputasi buruk karena beranggotakan para preman dan diketuai pentolan preman Jakarta, Hercules.
Belum menjadi pemimpin negeri ini saja, Prabowo sudah mampu meneror psikologis masyarakat. Jika kemenangan tak menjadi milikinya, maka jangan harap kedamaian akan bertahta.
Tak sampai 24 jam setelah cerita teman tersebut, muncul kabar di media massa bahwa ada anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) turun ke warga masyarakat di wilayah Jakarta Pusat dan mengarahkan pilihan warga pada pasangan Prabowo-Hatta. Protes dari tim Jokowi-JK segera muncul, berbarengan dengan berbagai respon keras atas berita tersebut. Panglima TNI Jenderal Moeldoko segera membantah isu tersebut. Lucunya, Komandan Distrik Militer (Dandim) 0501 Jakarta Pusat, Letkol Yudo Pranoto, malah memberi statement yang terkesan membenarkan: Babinsa hanya melakukan pendataan rutin.
Saya pun lantas ngobrol dengan beberapa kawan di media sosial. Sungguh mengejutkan, ternyata kebanyakan mereka mengisahkan hal yang serupa. Kawan di Yogyakarta menceritakan bagaimana sebuah posko relawan Jokowi-JK kerap didatangi anggota kepolisian saat sedang menyablon kaos. Di Gunung Kidul, DIY, anggota Babinsa juga berkeliling kampung serta mengarahkan warga untuk memilih pasangan nomor 1.
Serupa, cerita dari kawan di Palembang. Satu orang bercerita bahwa di sekitar kampungnya ada orang-orang berambut cepak dan berbadan tegap berkeliling sembari membawa alat peraga pasangan nomor 1 (Prabowo-Hatta). “Bikin sosialisasi,” katanya. Saya jadi ingat kisah teman lain yang juga tinggal di Palembang, bekerja di sebuah LSM Perempuan, beberapa kali didatangi orang-orang berpenampilan serupa dengan menyodorkan opsi: Prabowo atau pisau. Tentu saja ia takut serta kaget bukan kepalang. LSM tempatnya bekerja adalah LSM yang mengurusi isu-isu perempuan, bukan politik. Bagaimana bisa mendapat ancaman seperti itu?
Di Riau lain pula, teman yang aktif mengampanyekan Jokowi-JK dan juga meluruskan kampanye fitnah bernuansa SARA yang banyak berserak dan dilahap oleh basis Melayu Muslim, juga mendapat ancaman. "Orang rumah kerjanya apa? Usahamu apa? Jangan sampai kami bikin rugi semua usahamu!" demikian ancaman yang didapatnya. Hanya karena aktif di media sosial dengan sukarela, bukan selevel Panasbung yang makan gaji dari memaki orang lain.
Ini semua adalah fakta-fakta kecil yang menunjukkan bahwa hantu dari masa lalu bernama militerisme masih menjadi teror dan ancaman bagi demokrasi yang telah kita perjuangkan dan sedang kita bangun. Dan salah satu hantu itu kini sedang mengikuti prosesi demokrasi, Pemilihan Presiden. Ia melakukan berbagai cara anti demokrasi untuk memenangkan tujuannya, dari iklan selama bertahun-tahun yang menghabiskan milyaran rupiah, fitnah-fitnah keji, hingga cerita-cerita di atas.
Bangsa ini tak sadar telah perlahan-lahan diseret kembali kepada romantika teror. Jangan-jangan bangsa ini mengidap Stockholm Politic Syndrom. Jika Stockholm Syndrom adalah sindrom kelainan psikologis, sandera malah akhirnya mencintai penculiknya. Nah, bangsa ini jangan-jangan dikondisikan untuk mencintai militerisme dan masa teror semasa Soeharto. Lihat saja, taktik memunculkan stiker-stiker bergambar Soeharto yang menanyakan betapa enaknya hidup di zamannya, memang sengaja dimunculkan untuk menarik kembali bangsa ini ke kubangan militerisme dan tangan besi.
Dan, apakah kita memang terlalu mudah untuk diteror secara psikologis? Jika sebelum berkuasa saja, mereka telah berhasil menteror perasaan aman kita. Apalagi nanti mereka berkuasa, mungkin tak ada anak muda yang aman dari ancaman 'penertiban'. Barangkali saja, sejarah berulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H