Mohon tunggu...
Sindikat Jogja
Sindikat Jogja Mohon Tunggu... -

Paguyuban Jogja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kejamnya Skenario Wahabi di Belakang Prabowo

3 Juli 2014   05:30 Diperbarui: 4 April 2017   16:32 19811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kilas balik 8 tahun lalu, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono kala itu memberi peringatan akan adanya, adanya penyusupan gerakan radikal ke dalam partai-partai Islam. Infiltrasi itu bertujuan untuk mendirikan Negara Islam dan menerapkan syar’iah. Menurut Juwono, gerakan radikal itu bernaung di parpol islam sambil menunggu momentum radikalisasi. Menhan kemudian meminta parpol Islam untuk waspada terhadap penyusupan itu.

Atas pernyataannya itu, Menhan menerima badai protes dari kalangan partai, salah satunya Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring. Dia menyebut pernyataan Menhan itu hanya memberi stigma negatif partai-partai Islam. Dia menyebut Menhan telah menggunakan cara-cara Orde Baru. “Kalau memang punya bukti, langsung tunjuk hidung partai mana yang dimaksud,” tantang Tifatul Sembiring menanggapi pernyataan Menhan Juwono Sudarsono.

Tak heran jika mantan presiden PKS, yang sekarang ini menjabat sebagai Menkominfo di pemerintahan SBY, bersikap sangat keras terhadap peringatan Menhan Juwuno tahun 2006. Bersama Hidayat Nur Wahid, Tifatul adalah peletak dasar ideologi PKS. Keduanya berasal dari gerakan Tarbiyah, yang ingin mentransplantasi ideologi politik Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan ideologi keagamaan Wahabi dari Arab Saudi.

Berdirinya PKS berawal dari kelompok keagamaan yang berbasis di kampus-kampus negeri pada awal 1980-an. Kelompok ini kerap disebut gerakan Tarbiyah (pendidikan) atau Usroh (keluarga). Gerakan ini disebut tarbiyah karena dibangun dengan kegiatan mentoring atau pendidikan keagamaan oleh kelompok-kelompok yang dibentuk di sekitar kampus. Setiap kelompok terdiri dari 5-7 orang yang dibimbing seorang murabbi (mentor) dengan kewajiban saling menjaga satu sama lain, tak hanya dalam aktifitas belajar tapi juga dalam aspek kehidupan sehingga seperti keluarga (usroh).

Bahkan, seorang murabbi juga bertugas mencarikan jodoh bagi anggotanya, tentu saja itu dilakukan dengan motif semakin mempersolid usroh tersebut. Karena mereka berpendapat, jika menikah dengan orang penganut Islam selain Islam cara mereka, maka dapat dikatakan sesat. Tak mengherankan, jika dalam banyak kasus, seorang anggota usroh lebih mendengarkan seorang murabbi dari pada orang tuanya sendiri.

Perkembangan gerakan Tarbiyah di Indonesia cukup pesat, sehingga dalam tempo sepuluh tahun sejak 1980, telah menyebar ke seluruh kampus-kampus ternama di Indonesia seperti UI, IPB, ITB, UGM, Unair, Brawijaya, Unhas dan lain-lain.Kelahiran dua majalah Tarbiyah, yang terbit akhir tahun 1986, yakni Ummi dan Sabili, yang menyebarkan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin, menjadi wahana pembinaan juga sebagai media informasi dan komunikasi pemikiran Tarbiyah di Indonesia.

Gerakan tarbiyah itu berjalan secara samar-samar selama rezim Orde Baru yang terkenal totaliter. Pola gerak itu mencapai titik balik pada momentum politik 1998, di mana semua kekuatan membuka diri menyambut perubahan iklim politik Indonesia, tak terkecuali kelompok tarbiyah.Dalam iklim keterbukaan politik yang permisif terhadap semua bentuk ekspresi ideologi, para aktivis tarbiyah memutuskan untuk mendirikan Partai Keadilan (PK). Partai berlambang bulan sabit dan pedang ini dideklarasikan 9 Agustus 1998 di Masjid Al Azhar Kebayoran baru dengan diikuti puluhan ribu pendukungnya.

Tapi, jangan salah sangka bahwa keterlibatan dalam pemilu ini adalah bentuk penerimaan terhadap demokrasi, sama sekali bukan. Bagi mereka, sistem kepartaian, nasionalisme, atau pun demokrasi, hanyalah alat, cara yang bisa ditunggangi untuk mencapai tujuan membentuk negara Islam. Mereka menunggangi demokrasi untuk merebut kekuasaan, hingga nanti berhasil membuat misi mereka terwujud; Negara Islam. Bagaimana tidak? Azas Pancasila saja mereka tolak, dianggap sebagai azas sekuler kafir, dan jika ada anggotanya yang tetap menerima Pancasila, dicap futur (demoralisasi ideologi) hingga murtad bagi yang benar-benar menentang keras.

Niat PKS dengan ideologi politik Ikhwanul Muslimin ini memainkan peranan ‘playing as friend’, awalnya terlihat ramah terhadap Pancasila dan Indonesia, namun tujuan mereka sejalan dengan Hizbut Tahrir. Toh, memang penggagas Hizbut Tahrir adalah sempalan Ikhwanul Muslimin yang merasa gemas dengan pola ‘berpura-pura’ yang dianggap lambat mencapai tujuan negara Islam.

Kedekatan PKS dan ideologi Ikhwanul Muslimin memang tak bisa dipungkiri, walaupun mereka menapik adanya hubungan organisasi mau pun ideologis antara keduanya. Tapi lihat saja reaksi mereka ketika pimpinan Ikhwanul Muslimin, Moersi digulingkan dari kursi kepresidenan di Mesir,respon solidaritas PKS sangat massif melebihi solidaritas mereka terhadap berbagai kekerasan atas umat Islam di tanah air. Anis Matta, presiden PKS juga terang-terangan menyatakan bahwa inspirasi-inspirasi Ikhwanul Muslimin memberi kekuatan pada PKS. Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, berhasil mengubah pembaharuan dari wacana menjadi gerakan. Dan tak berlebihan, bila inspirasi gerak itu juga yang terasa dalam denyut Partai Keadilan Sejahtera. Demikian Anis Matta berkata.

Bahkan Dr. Yusuf Qardhawi, Partai Keadilan (yang sekarang berganti nama menjadi PKS) adalah perpanjangan tangan ikhwanul muslimin dari Mesir.

Namun, ikwanul muslimin yang mereka akomodir sebagai ideologi bukanlah yang ramah terhadap perbedaan, dan berupaya menjembatani berbagai aliran agama seperti tujuan Hassan Al Banna. Tokoh yang dipuja PKS adalah Sayyid Quthb, yang pada 1964, menulis manifesto Ma’alim fi al-Tariq (Petunjuk Jalan). Dalam pemikirannya, negara wajib menjalankan hukum Islam demi keadilan sosial. Sehingga jika ada pemerintah Muslim abai terhadap kewajiban ini, maka dianggap berada di luar akidah Islam dan layak diperangi.

Lalu di mana letak Wahabi? Ikhwanul Muslimin dengan jalan pemikiran Sayyid Quthb dan Wahabi memiliki keterkaitan dan kepentingan yang sama. Raja Faishal dari Arab Saudi pernah mengirim surat kepada Presiden Gamal Abdul Nasser agar eksekusi Sayyid Quthb dibatalkan, walau akhirnya tetap digantung pada 1966. Bahkan negara Arab Saudi dengan penerapan ajaran Wahabi menjadi negara pelindung para pelarian Ikhwanul Muslimin dari Mesir pasca penangkapan tokoh-tokohnya pada masa Presiden Nasser. Memang tak mengherankan, mengingat Ikhwanul Muslimin dan Wahabi memiliki kesamaan gagasan, yaitu formalisasi syariah Islam.

Wahabi mengasosiasikan diri sebagai kaum salaf yang mengharamkan semua bid’ah dan memahami ajaran Islam secara harfiah (peringatan Maulid, tahlilan, atau ziarah kubur diharamkan) dan menganggap yang bertentangan dengan mereka adalah kafir. Sedangkan ikhwanul muslimin bergerak di bidang politik. Karena tujuan untuk mendirikan negara Islam tak lagi dapat dilakukan seperti cara NII melalui pemberontakan, tapi dengan merebut kekuasan politik. Jadi jangan heran jika dalam tubuh PKS ada Hilmi Aminuddin, putera Danu Muhammad Hasan, salah satu pemimpin gerakan Negara Islam Indonesia, Panglima NII Jawa dan Madura.

Belajar dari kegagalan cara-cara pemberontakan itu, kalangan Wahabi ini memanfaatkan alam demokrasi untuk mendirikan parpol dan merangsek masuk ke dalam birokrasi dan pemerintahan. Mereka memaksakan aturan agama Islam secara ketat hingga melanggar hak azasi warga negara yang berbeda keyakinan. Yang lebih mendekatkan Wahabi dengan Ikhwanul Muslimin adalah ketidaktundukan mereka terhadap pemerintahan negara, atas nama nasional. Mereka hanya akan tunduk pada negara dengan syariat Islam, dan setiap upaya mereka adalah untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Dalam mengembangkan sayap dan pengaruhnya, PKS melakukan infiltrasi ke berbagai ormas, lembaga pendidikan, instansi pemerintahan dan swasta. Bahkan di kampus-kampus, mereka memaksakan mentoring dan liqa’ untuk menyebarkan paham, membuat kesepakatan dengan pihak kampus, agar mahasiswa tingkat awal yang mendapatkan mata kuliah Agama Islam, diwajibkan untuk liqa’. Jika tidak mengikuti, maka ancaman nilai Agama Islam akan buruk dan mempengaruhi masa depan kelulusan karena mata kuliah wajib.

Jika ini saja bisa dilakukan oleh PKS dan kroni-kroninya di dalam kampus, maka tudingan Hashim tentang pemecatan pegawai Kristen di Kementan yang dipimpin oleh kader PKS, juga bukan hal sulit.Hal itu hanya bagian kecil dari potret bahaya yang menghadang Indonesia di masa depan, jika PKS telah menancapkan kuku kekuasaannya di setiap tubuh biroktasi.

Bagi Muhammadiyah, PKS menuggangi amal usaha, masjid, lembaga pendidikan, dan fasilitas lainnya demi tujuan politiknya. Penolakan Muhammadiyah terhadap PKS diwujudkan dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor : 149/Kep/I.0/B/2006. SKPP menyebut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai politik yang memanfaatkan Muhammadiyah demi kekuasaan politik. Karena itu SKPP menyerukan para anggota dan pimpinan Muhammadiyah agar membebaskan diri dari misi dan tujuan PKS.

Pada 2006, sebuah TK milik Aisyiyah Muhammadiyah di Prambanan yang telah berdiri 20 tahun hendak diubah menjadi TK Islam Terpadu. Di belakang rencana itu, ada Hidayat Nur Wahid yang saat itu menjabat Ketua MPR dan Dewan Pembina dan Pengurus Yayasan Islamic Centre yang berafiliasi dengan PKS. Tentu saja Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jateng keberatan dengan rencana itu. Kasus lain menunjukkan di manaPKS mengambil alih tanah masjid wakaf Muhammadiyah ketika HNW membantu membangun fisik masjid di atasnya.

Keberadaam Kelompok Tarbiyah Ikhwanul Muslimin (PKS) di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai terkuak tatkala Farid Setiawan, pengurus Muhammadiyah wilayah Yogyakarta, menulis sebuah artikel opini di Majalah Suara Muhammadiyah. Dalam artikel berjudul “Tiga Upaya Mu’alimin dan Mu’alimat” itu Farid mensinyalir penyusupan agen-agen garis keras di Madrasah Mualimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta. Kedua lembaga pendidikan menengah ini dikenal sebagai tempat pengkaderan ulama Muhammadiyah yang langsung dikelola oleh Pimpinan Pusat.

Di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), gerakan penyusupan paham Wahabi-Ikhwanul Muslimin demikian kuatnya, terutama lewat Fakultas Teknik, Agama Islam, dan Program Magister Agama Islam, di mana ketuanya adalah Dewan Syuro PKS, Dr. Muinudinillah, Lc., lulusan King Abdul Aziz University Arab Saudi. Yang menarik adalah, kira-kira tiga perempat mahasiswa S2 Studi Islam itu merupakan kader PKS yang dibawa oleh direkturnya dan mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Arab Saudi.

Penyusupan ideologi PKS di forum-forum pengajian kantor pemerintah pernah menggegerkan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok, Bogor pada tahun 2006, yang saat itu dipimpin Walikota Nur Mahmudi Ismail, mantan Presiden PKS. Hasbullah rachmad, ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Depok, mengungkapkan hal tersebut pada Desember 2006. Hasbullah memberi contoh bahwa pengajian rutin yang dibawakan guru ngaji dari Fraksi PKS di kalangan birokrasi Pemkot Depok merupakan bentuk pemaksaan. “Mereka yang ingin karirnya naik diwajibkan ikut pengajian PKS. Itu benar-benar terjadi,” kata Hasbullah.

Banyaknya kasus pemaksaan atas cara beragama dan ibadah orang lain, sesuai dengan prinsip Wahabi, yaitu mengislamkan orang Islam, karena mereka berkeyakinan hanya Islam cara mereka yang benar, dan lain adalah kafir. Dalam berbagai pengajian tarbiyah,PKS juga sering mengingatkan bahwa ada 73 aliran Islam setelah Rasulullah tiada, dan hanya ada satu yang benar dan masuk surga, yaitu kalangan mereka. Itulah doktrin dan keyakinan yang disampaikan setiap mentor kepada kadernya.

Alangkah mengherankan dan sangat patut dipertanyakan, mengapa PKS dengan Ikhwanul Muslimin ala Mesir mereka ini dapat lestari di Indonesia. Terlebih lagi di panggung politik. PKS tidak tunduk kepada arahan presiden Indonesia sebagai pimpinan tertinggi, karena kiblat dari semua perintah yang harus ditaati adalah induk organisasi mereka di Mesir. Pola ini hampir sama dengan PKI ketika era 60-an, yang tidak mengakui Pancasila dan tak mengakui kewenangan presiden terhadap negara, karena mereka hanya tunduk pada aturan Komintern (Komunis Internasional) di Uni Soviet. Bahkan Presiden Soekarno pernah menunda penetapan parpol PKI sebagai  organisasi politik legal karena tidak mengakui Pancasila sebagai azas dan memiliki garis koordinasi dengan Komintern

Seharusnya, kita belajar dari kesalahan masa lalu, dengan memeriksa betul apakah organisasi politik di Indonesia ini memang memiliki agenda nasional untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, ataukah tunduk pada instruksi induk mereka, sebagai bagian kecil dari jaringan internasional. Tapi Saudara, itulah PKS, yang senyata-nyatanya mengagumi Osama bin Laden, karena memang teroris satu itu juga mengagumi pemikiran Sayyid Quthb dan terdidik sebagai orang Wahabi. Bahkan, Anis Matta sendiri memiliki puisi yang mengagumi Osama bin Laden sebagai pahlawan yang patut diangung-agungkan! Begitu pula Aa Gym pernah membacakan balasan surat dari Osama bin Laden yang berisi sapaan bagi kalangan radikal Islam di Indonesia, dan apresiasi terhadap kekuatan besar yang sudah digalang di Indonesia untuk mendukung cara-cara garis keras Osama. Surat itu dibacakan pada acara Konser Amal Milad Daarut Tauhid di Gedung Sasana Budaya Ganesha ITB, 15 Oktober 2001.

Lalu mengapa PKS tertarik ikut serta dengan kubu Prabowo? Karena memang PKS memandanng Prabowo-Hatta sebagai orang yang potensial untuk ditunggangi. Prabowo mau mengeluarkan miliaran rupiah sebagai mahar agar PKS menjadi mesin kampanyenya (mulai dari kampanye putih hingga kampanye hitam). Yang dijual PKS adalah jaringan kader yang solid dan taklid terhadap pemimpin, sehingga bisa diandalkan sebagai mesin kampanye. Selain itu, PKS juga melihat Prabowo sangat mirip Soeharto, dan hanya dalam gaya kepemimpinan model otoriter, kuasa Ikhwanul Muslimin dan Wahabi akan dapat bertahan tanpa dianggap terlarang. Toh, PKS memang telah menjadi salah satu partai penguasa, namun dibutuhkan kuku otoriter agar wahabi dan ikhwanul muslimin tidak bernasib seperti negara asal gerakan ini; terlarang dan dimusuhi.

Tak salah rupanya, PKS memang sejalan pikiran dengan Prabowo, mengidolakan Soeharto. Bahkan pada tahun 2008 menjelang pemilu 2009, iklan PKS yang memuja Soeharto dan rasa ‘terima kasih’ kepada Soeharto menjadi kecaman. Namun sekarang, bak bertemu pasangan sejoli, Prabowo pun ingin mengangkat Soeharto sebagai pahlawan. Karena pun, ayah Hilmi Aminuddin merupakan pemberontak NII yang ‘membelot’ dan diampuni oleh pemerintahan Soeharto, kemudian bekerja sama dengan Ali Moertopo. Bahkan Hilmi pun bisa bersekolah ke Saudi atas bantuan Ali Moertopo.

Walau bagaimana pun, jika harus menjilat ludah sendiri, koar-koar menyatakan diri akan keluar jika Prabowo-Hatta membuka rekening kampanye, toh PKS sudah PASTI tidak akan keluar. Jika ada yang menjuluki PKS sebagai partai paling oportunis, ya memang, karena mereka akan demikian adanya, tetap memanfaatkan posisi, mendompleng kekuasaan, demi terwujudkan impian Negara Islam ala Wahabi dan Sayyid Quthb.

Kesamaan lain antara PKS dan Prabowo, yaitu sikap mereka yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. PKS menganggap kelompoknya yang paling benar, yang paling layak meretas jalan menuju syurga. Karena itu, semua cara halal dilakukan demi tujuan politik mereka. Meski pun, mereka harus mendzolimi sesama umat islam sendiri. Berbagai contoh di atas sangat gamblang menunjukkan bagaimana PKS mendzolimi Muhammadiyah demi tujuan politik mereka. Motif mereka jelas, melakukan semua cara untuk merebut kepemimpinan umat Islam di Indonesia.

Lagipula, PKS sama sekali tak takut dengan Hashim, adiknya Prabowo. Mereka bahkan mengetahui betul bahwa Hashim memiliki agenda tandingan dengan menguasai komunitas Kristen di Indonesia. Walaupun telah dipermalukan habis-habisan di forum internasional oleh Hashim, namun PKS percaya diri tetap bertahan di kubu Prabowo. Karena yang memegang kartu mati Prabowo Subianto adalah mereka, elit PKS dengan jaringan internasional itu. Prabowo berkuasa, maka elit PKS akan mengancam Prabowo dengan aduan pelanggaran HAM ke mahkamah internasional hingga melibatkan PBB dan AS, melalui akses Wahabi di Arab Saudi. Yang akan mereka bawa adalah surat keputusan DKP, yang menyorot Prabowo telah melenceng dari instruksi dengan melibatan satgas untuk membunuh dan memperkosa masyarakat muslim di Kampung Cot Keeng, Aceh pada akhir dekade 80-an. Hingga pun sekarang kampung tersebut dikenal sebagai Kampung Janda.

Hashim dan PKS telah berkonflik, dan terus akan berkonflik hingga salah satu dari mereka mencapai tujuan. Dan Prabowo akan memilih menyelamatkan muka dengan mengikuti kemauan PKS daripada diadukan ke dunia Internasional. Karena memang, jaringan internasional paling solid, hanya dimiliki oleh PKS dengan ikhwanul muslimin dan wahabi, bukan Gerindra. Apalagi di internal kubu Prahara, Prabowo telah ‘diikat’ mereka dengan julukan; Panglima Perang Umat Islam.

Bayangkan, mereka telah mempersiapkan sebuah perang! Perang yang akan membuat Hashim dikhianati Prabowo. Maka, ketika umat Islam Indonesia berhasil ditundukkan di bawah kendali PKS, saat itulah mereka akan menegakkan model daulah islamiyah. Mereka akan terang-terangan mendeklarasikan dukungan dan menfasilitasi perekrutan pemuda Indonesia untuk dikirim dan dibai’at sebagai pejuang ISIS, karena perjuangan inilah yang mereka perjuangkan, membentuk Daulah Islamiyah (negara Islam), tujuan dari gerakan Wahabi dan Ikhwanul Muslimin - Sayyid Quthb.

Bersiaplah Indonesia! PKS akan menjalankan indoktrinasi secara massal terhadap semua kepala yang ada di Indonesia. Dan kemudian, konflik antara PKS dan Hashim akan menjalar ke masyarakat luas. Tragedi Ambon jilid II sudah mereka persiapkan! Dan kubu yang menyimpan bara konflik ini adalah kubu Prahara. Inilah ancaman rusuh yang telah santer terdengar di telinga masyarakat saat ini.

http://indonesia.faithfreedom.org/phpbb/viewtopic.php?f=57&t=6021&p=78317

Republika 7 Oktober 2006, diakses pada situs www.infoanda.com/followlink.php?lh=WQ4CUlVQVVIE

Indonesia Monitor 2008a, 2008b

Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah : Bagaimana Sikap Muhammadiyah ? Agustus 2006, hlm 15

Arkal Salim dan Azyumardi Azra, “The State and Shari’a in the Perspective of Indonesian Legal Politics,” Introduction dalam buku Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore : ISEAS, 2003)

Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009

Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah : Bagaimana Sikap Muhammadiyah ? Agustus 2006

http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/09/04/msl0c5-inilah-akar-konflik-arab-saudi-dan-ikhwanul-muslimin

http://www.merdeka.com/khas/bungkamnya-putra-pentolan-nii-misteri-hilmi-aminuddin-1.html

http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/03/269582115/Hashim-PKS-Pecat-76-Staf-Kristen-di-Kementan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun