Mohon tunggu...
AL BANA
AL BANA Mohon Tunggu... profesional -

Hanya seorang penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu, Karyawan Tuhan?

17 September 2012   07:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:21 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seberapa berat beban yang anda terima di lingkungan kerja ? Seberapa letihnya anda mengejar target penjualan per hari, minggu dan bulan bahkan tahun? Seberapa besar progres yang dituntut perusahaan? Yah, mungkin semua itu menjadi konsekwensi seorang karyawan sebagai wujud loyalitas dan royalitas kepada pimpinan, anda pun harus menerimanya aturan main yang ditetapkan, mulai dari jam masuk kerja sampai anda diperkenankan pulang, hal-hal yang menjadi batasaan dengan proporsional-nya masing-masing, inilah sistem yang menyeret kita untuk masuk atau terpaksa masuk kedalamnya. Inilah gambaran yang lazim kita temukan dalam dunia kerja, bukan? ( Nggak perlu anda keliling monas sambil teriak WOW!!)

Itulah fenomena yang kita temukan, di luar pintu rumah. Tanpa disadari di dalam rumah kita, ada seorang karyawan yang diangkat dan ditunjuk langsung berdasarkan kodrat dan fitrah-Nya. Seorang karyawan yang tak kenal waktu dan terlepas dari ketentuan jam kerja. Ia absen lebih awal dari suara kokok ayam, terbangun lebih awal dari suara speaker masjid mengumandangkan adzan. Selesai menyiapkan sarapan, minimal teh hangat untuk suami dan anak-anaknya, mengantarkan dan melepas mereka berkatifitas. Selepas itu, cucian menumpuk menanti, ruangan yang berantakan menunggu sentuhannya untuk segera merapihkan semua. Dilanjut menyiapkan makan untuk sang anak yang sehabis Zuhur kembali pulang. Menu sajian aneka rupa sudah tersedia di meja, ia tutup rapih dengan tudung saji demi menjaga ke-higiens-an masakannya. Sambil menunggu anak-anaknya pulang, ia harus menyetriska pakaian, agar sang suami dan anak-anaknya merasa nyaman serta terlihat indah kalau  pakaiannya rapih-terawat.

Sejengkal nafas, hari pun masuk petang dan ia menanti suami tercinta pulang. Mulailah sibuk menyiapkan segala keperluannya. Tiga jenis rupa minuman ia sajikan, kopi, teh dan air putih biarlah sang suami memilihnya. Sambil menunggu, demi memberikan kenyamanan. Rumah pun kembali dirapihkan untuk kedua kali, satu persatu ia atur ruangan agar tetap enak dipandang mata, apa jadinya ketika suami pulang melihat keadaan rumah yang semraut, piring kotor yang menumpuk, sendal dan sepatu tidak pada tempatnya. Kasihan sang suami, sudah habis-habisan dikejar target perusahaan, apa jadinya pulang ke rumah melihat keadaannya berantakan, mirip kapal pecah.

Suami tercinta pun pulang dengan sekujur badan penuh peluh dan aroma tak sedap menusuk hidungnya, tetapi ia sambut penuh kesejukan. Sehabis suami membersihkan badan, makanan pun siap disantap bersama.

Disaat semuanya asyik menikmati hiburan di televisi atau sang suami sedikit meluangkan waktu demi si buah hati, bunda pun kembali merapihkan meja makan,  dan piring kotor lagi-lagi menantinya.

Anak-anak sudah terlihat letih, ia rapihkan kamar dan tempat tidurnya. Biar tidurnya nyenyak tanpa satu pun nyamuk yang menggigitnya. Sesudah itu, bunda kembali menjamu sang suami dengan makanan ringan, menemani sebatas melihat acara favorit suaminya, walau sebenarnya ia tak suka.

Hingga larut malam, bunda memastikan anak-anaknya tidur pulas dan sedikit memberi kecupan di kening sebagai penghantar mimpi indah. Barulah ia dapat tertidur ( belum lagi jika  suami meminta untuk dimanjakannya, alias lembur ).

Yah, inilah daily rutinitas seorang karyawan yang ditunjuk Tuhan. Dengan sederet jadwal kerja yang boleh dikatakan nonstop. Dan jika dikalkulasikan dengan rupiah, berapa gaji yang harus diterimanya? Yang terkadang pendapatan suami tidak seimbang dengan kebutuhan hidup. Tetapi ia mencoba menyembunyikan keletihannya dengan senyum dan keihklasan dan tidak pernah mengenal kata PENSIUN.

Ya Allah, panjangkan umurnya,....sebelum aku melihat senyum dan air mata bangga......

Jakarta, 17 September 2012

Hasan Al Bana

Follow @akualbana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun