Disaat orang-orang dan keluarga besar lainnya tengah sibuk mempersiapkan hari besar esok hari, aku justru terpenjara dalam keheningan di sudut kamarku. Memandang buku harian yang sudah agak usang dalam genggaman tanganku. Aku manatap pilu buku tempatku mencurahkan segala isi hatiku dahulu. Aku membuka halaman tengah buku tersebut, saat terakhir kali aku menulisnya dan tak pernah lagi membukanya hingga saat ini. Tersisip setangkai bunga mawar yang sudah mengering, bunga terakhir yang di berikan olehnya beberapa saat sebelum takdir memisahkan kami.
Erlangga, laki-laki yang sebelumnya aku mengira akan menjadi pelabuhan terakhirku. Ia pernah hadir menyebarkan bunga-bunga rindu dalam hatiku, telah pergi dan tak akan pernah kembali. Kejadian lima tahun silam membuat semuanya berubah, segala mimpi, cita-cita, harapan dan semangat hidup pun memudar.
Sebuah awal perjumpaan yang tak akan pernah lekang, masa dimana waktu akhirnya mempertemukan dan mempersatukan kami.
“Hujan…bagaimana aku bisa pulang” keluhku memandang jendela saat berada di sebuah kedai kopi di sekitaran jalan kota Bandung
“Maaf..boleh saya duduk disini ? tempat yang lain penuh” Tanya seorang laki-laki bertubuh tegap di hapadanku
“oh..iya tentu boleh saja” Aku mempersilahkan
“dingin..dingin begini menyeruput mocachino hangat sungguh nikmat” laki-laki itu berkomentar
Aku tak terlalu memperdulikannya
“Aku Erlangga” Ia mengulurkan tangan di depan wajahku yang tengah asyik berkutat dengan notebook.
“Maya” jawabku singkat
“Sepertinya kamu sedang sibuk, maaf jika kehadiranku mengganggu” ucapnya sungkan