Mohon tunggu...
Teguh Hariawan
Teguh Hariawan Mohon Tunggu... Guru - Traveller, Blusuker, Content Writer

Blusuker dan menulis yang di Blusuki. Content Writer. "Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang " : (Nancy K Florida)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menengok Rumah Bergaya Kolonial

29 April 2013   23:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:24 4140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_250951" align="aligncenter" width="500" caption="Villa Nirwana (dok pribadi)"][/caption] Beberapa waktu lalu pernah ditulis artikel "Kawat Dunia"  kiriman dari Belanda. Uniknya, artikel tersebut membahas nuansa Indonesia yang ada di sana. Nah, kali ini tak ada salahnya kalau disajikan liputan nuansa Belanda yang ada di Indonesia. Khususnya tentang  rumah peristirahatan tinggalan kolonial yang banyak  ditemukan di kawasan Tretes, Prigen  Jawa Timur. [caption id="attachment_250953" align="aligncenter" width="500" caption="Cerobong tungku perapian (dok pribadi)"]

1367250997654622253
1367250997654622253
[/caption]

Keberadaan rumah kuno bergaya kolonial ini dapat dijumpai di kawasan Taman Wisata Pecalukan. Tapi orang juga sering menyebutnya kawasan Tretes. Dulu, kawasan ini disebut Villa Park. Sekarang jadi Taman Wisata. Secara topografis, kawasan  letaknya berbukit-bukit. Tingginya lebih dari 700 mdpl. Hawanya sejuk. Airnya dingin dan segar. Terletak di lereng utara Gunung Arjuno-Welirang yang menghamparkan pemandangan  mempesona. Suhu berkisar antara 22 derajat  -  27 derajat celcius. Curah hujan 800 mm/tahun. Cukup tinggi!

[caption id="attachment_250954" align="aligncenter" width="500" caption="Bekas rumah Van Zalingen (dok pribadi)"]

13672510171462105122
13672510171462105122
[/caption]
13672510351833043225
13672510351833043225
1367251179655858480
1367251179655858480
Tak heran, dengan kondisi yang ideal tersebut,  di jaman penjajahan banyak rumah-rumah peristirahatan didirikan.  Secara kasat mata, ciri khas rumah tinggalan kolonial ini berpondasi batu kali. Kemudian diberi dinding dari batu setinggi kurang lebih setengah sampai satu meter.  Baru kemudian disambung dengan dinding berbahan Kayu (Jati?),  Dipasang mendatar saling lapis-melapisi antara satu lembar kayu dengan dengan lainnya. Rapat dan kedap udara. Warna catnya juga seragam. Dominan hitam dan merah. Jika sekarang dijumpai warna lain, itu karena selera yang punya saja. Biar tidak serem, mungkin. Dipilihnya warna hitam bukan tanpa alasan. Warna hitam menyerap panas. Saat pagi sampai siang, terik matahari akan menghangatkan seisi rumah. Rumah jadi hangat. Bila malam tiba, sistem penghangat diganti oleh tungku perapian yang terdapat di bagian tengah rumah. [caption id="attachment_250956" align="aligncenter" width="500" caption="Sudut kemiringan atap cukup tajam agar air hujan cepat turun ke tanah (dok pribadi)"]
1367251075369397438
1367251075369397438
[/caption] [caption id="attachment_250957" align="aligncenter" width="500" caption="Cerobong perapian tetap jadi ciri utama (dok pribadi)"]
1367251098879643284
1367251098879643284
[/caption]
13672511261328073121
13672511261328073121
Ciri lain yang menonjol adalah bentuk atapnya yang memiliki kemiringan sangat tajam. Bisa jadi, curah hujan yang tinggi jadi alasannya. Dengan sudut kemiringan yang tajam, air hujan gampang jatuh ke tanah. Tidak berlama-lama ada di atap rumah, Jadinya atap genteng awet dan tidak gampang bocor.  Selain menggunakan genteng,  ada rumah gaya kolonialnya lainnya yang atapnya di- cor. Luar biasa kerasnya Entah berapa komposisi campuran semen dan pasirnya.  Untuk melindungi bagin atap dan menimbulkan kehangatan, diatap yang dicor tadi dilapisi dengan aspal. Ini ciri khasnya.  Sayangnya, rumah-rumah model seperti ini sudah jarang ditemui. Orang Eropa sangat menyukai pemandangan. Untuk itu mereka membangun rumah  berlantai dua dengan teras terbuka di luarnya. Cocok untuk bcca-baca dan minum kopi di sore hari. Nah, untuk melengkapi fasilitas,  mereka juga menyediakan kolam kecil di halaman rumah. Saat ini, rumah-rumah tinggalan Belanda ini dimiliki oleh perseorangan. Ada juga milik perusahaan negara (PTPN dan Bank Negara). Sayangnya, kami tidak berkesempatan untuk menengok bagian dalam rumah-rumah jadul tersebut. Tidak untuk membayangkan nikmatnya ringgal di rumah "mewah", tapi untuk mengingat bahwa dulu mungkin  ada diantara  mbah-mbah kita yang ikut bekerja keras membangunnya. Entah dengan sukarela, digaji atau todongan bedil. Biiarlah itu menjadi bagian dari sejarah. [caption id="attachment_250959" align="aligncenter" width="500" caption="Teras terbuka di atap rumah, cocok untuk bercengkerama (dok pribadi)"]
13672511491123781893
13672511491123781893
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun