Gladak Perak, sebuah nama yang bikin penasaran. Untuk menebusnya, siang itu selepas kegiatan di Batu, saya meluncur menuju Malang arah Dampit. Tanpa henti menuju Lumajang. Jalurnya berkelak kelok. Kanan kiri didominasi bukit. Pohon-pohon hijau menambah asri. Jalan utama penghubung Malang-Lumajang ini tidak begitu padat. Tapi perlu ekstra hati-hati dan konsentrasi agar tidak diseruduk truk-truk pengangkut pasir yang tiba-tiba muncul di tikungan.
Sesaat setelah menuruni belokan terakhir, akhirnya tiba di sebuah jembatan panjang. Inilah Gladak Perak. Jembatan yang kondisinya masih baru ini membentang di atas Sungai Besuk Sat yang lebarnya rata-rata 22 meter. Banyak motor parkir di ujung jembatan dan sudut-sudut yang rindang. Beberapa mobil juga menepi. Hamparan pemandangan pengunungan Semeru nan hijau dan sejuknya udara menjadikan Jembatan Gladak Perak sangat cocok untuk Rest Area saat melintas di jalur Malang-Lumajang.
Pemadangan lain, nampak pula di bawah sana, penambang pasir giat mencangkul dan mengayak. Lalu mengangkut dan memindahkan pasir besi dari aliran lahar Gunung Semeru (Pasir Lumajang) yang harganya tinggi di pasaran ke bak truk yang sudah menanti.
Sejarah
Saya menyusuri beberapa titik di sekitar jembatan, Ternyata di sisi kiri ada jembatan lama yang sudah mangkrak. Menghubungkan dua sisi bukit batu yang curam. Rangka besinya mulai berkarat. Tapi tetap kokoh. Pagar jembatan hampir lenyap. Tersisa badan jembatan dengan aspal yang mulai berlubang-lubang dan beberapa penyangga pagar. Di bawah sana nampak sungai Besuk Sat yang debitnya sedang surut. Jujur, bergidik saya melihat bawah jembatan!
Menurut Mas Joko, pemilik kedai di ujung jembatan lama Gladak Perak, jembatan lawas itu dibangun sekitar tahun 1925-1930 oleh pemerintah Kolonial. Namun jembatan itu pernah dihancurkan para pejuang saat masa revolusi untuk menghambat pergerakan pasukan Belanda yang merangsek dari Malang menuju Lumajang. Begitu revolusi usai, jembatan pun dibangun kembali.
Setelah saya telusuri di internet ternyata benar. KILTV Nederland masih menyimpan foto Jembatan Gladak Perak sesaat setelah dibangun pertama kali. Bahkan, sebelum dibangun jembatan rangka besi, pemerintah kolonial sudah membangun jembatan gantung di atas Sungai Besuk Sat, yang masuk Kecamatan Pronojiwo, Lumajang. Mengapa jembatan Gladak Perak ini begitu penting? Ini tidak lain karena Lumajang sejak dulu (sampai sekarang) adalah lumbung pangan terutama buah-buahan untuk wilayah Jawa Timur. Tapi sempat terbesit juga, bagaimana sudahnya membangun jembatan di medan ekstrim ini dengan alat-alat yang sederhana saat itu?
Jembatan Gladak Perak kembali direnovasi sekitar tahun 2001. Tidak memperbaiki yang sudah ada, tapi membangun jembatan baru di sisi timur jembatan lama. Panjangnya sekitar 130 meter. Konstruksinya dari beton bertulang. Berbeda dengan jembatan lama yang murni dari rangka besi. Jembatan inilah yang sekarang jadi urat nadi pegerakan ekonomi dari Malang ke Lumajang dan sebaliknya. Sekaligus sebagai Rest Area wisata yang gratis dengan kuliner sederhana murah meriah.
[caption id="attachment_354498" align="aligncenter" width="400" caption="Gladak Perak jaman kolonial (sumber KILTV)"]
Legenda Gladak Perak
Masih menurut mas Joko, sebutan Perak sering dihubungkan dengan warna cat jembatan lama yang dicat abu-abu keperakan. Saat tertimpa sinar matahari, warna peraknya semakin mencorong. Namun, ada yang mengatakan bahwa sebutan Perak itu muncul karena saat membangun jembatan ini digunakan tumbal Gelang Perak milik penarik ledek (tayub) berparas cantik. Tumbal ini digunakan sebagai penolak bala karena saat pembangunannya banyak memakan korban tewas jatuh ke sungai Besuk Sat yang tingginya sekitar 60-70 meter dari dasar sungai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H