"Nembe sakmenika dalem ngraosaken urip sekeca pak. Nggih sak wise wonten dalan niki!," tutur pak Sigit. (Baru kali ini saya merasakan hidup yang enak. Ya, sejak adanya jalan Jalur Lintas Selatan( JLS) ini. Begitu ungkapan jujur dari seorang petani sekaligus blantik (pedagang) sapi dari Kecamatan Lorok, Pacitan.
[caption id="attachment_337263" align="aligncenter" width="640" caption="Berteduh di JLS Pacitan"]
Dulu, kalau mau jualan hasil bumi dan ternak ke kota Pacitan, harus menempuh jalan sempit. Jaraknya jauh. Naik turun bukit. Waktu tempuhnya bisa mencapai 2 jam. Sekarang, cukup 30-40 menit lewat JLS, sudah sampai di kota. Selain lebih dekat, jalannya lebar dan mulus. Bonusnya, pengendara akan menikmati pemandangan indah Pantai Laut Selatan sepanjang perjalanan. Begitu cerita pak Sigit yang siang itu secara tak sengaja bertemu saat bersama-sama berteduh di warteg kosong dipinggir jalan JLS Pacitan - Lorok - Trenggalek.
Geliat Ekonomi
Ungkapan jujur seorang petani Lorok ini seakan membuka tabir apakah  JLS yang sedang digarap pemerintah ini benar-benar bermanfaat. Ini lantaran, proyek JLS termasuk proyek raksasa dengan dana luar biasa besar pula. Jalur Lintas Selatan (JLS) ini dirancang menghubungkan Pacitan - Trenggalek - Tulungagung. Disambung Blitar - Malang Selatan (sebagian sudah selesai dikerjakan) - Lumajang. Rencananya akan berujung di Banyuwangi. Jaraknya totalnya kurang lebih 600 kilometer.
Secara kasat mata, saat melewati JLS dari Pacitan menuju Trenggalek ini, saya melihat bahwa aktifitas ekonomi masyarakat pedesaan mulai mengeliat. JLS, selain memudahkan akses dan distribusi barang serta jasa, juga merangsang masyarakat untuk bangkit membuka peluang usaha mandiri.
Usaha mandiri ini ada yang bersifat individual, hanya bertumpu pada satu keluarga. Konkretnya, nampak dari mulai munculnya toko-toko kelontong, toko palen (material bagunan), warung makan, bengkel, usaha penggergajian di beberapa titik sepanjang JLS.