"Berdasar hasil penelusuran rekan-rekan Komunitas Kandang Kebo secara virtual, ditemukan suatu catatan IJZerman tahun 1885 dan Stutterheim 1935, bahwa diketemukan kerangka manusia utuh di dasar Candi B di depan Candi Wisnu (1885) dan dasar candi sebelah Tenggara Candi Nandi (1935) pada kedalaman  5,3 sampai 6 meter. Pertanyaan: Apa tujuan penanaman kerangka manusia itu?" Pertanyaan menarik ini dilontarkan Maria Tri Widayati, motor pegiat Cagar Budaya Kandang Kebo, Sleman, Yogyakarta.
Kebetulan, siang itu saya beserta beliau gabung dalam kelas Whatsapp Interaktif bertemakan Prambanan-World Heritage Day 2020, yang diikuti tak kurang darii 230 peserta se jagad maya Nusantara. Menghadirkan, Manggar Sari Ayuati dari BPCB DI Yogyakarta dan Wahyu Kristanto dari BPCB Jawa Tengah sebagai narasumber. Dipandu duo moderator gembul, Iwan Kurniawan dan Cuk Riomandha.
"Ada dua pendapat tentang hal ini. Pertama, ada yang berpendapat bahwa itu adalah sekte pemujaan Bhairawa Kapala yang memang ada pengorbanan manusia di sekte ini. Candi Prambanan merupakan tempatnya saja. Sementara banyak sekte yang bersembahyang di candi ini. Sebagaimana dalam tulisan Roy Jordaan, Human Sacrifice at Prambanan.Â
Pendapat kedua, menurut Manggar Sari, itu manusia dari masa yang lebih kemudian, yang berusaha mencuri harta karun. "Seperti kita tahu bahwa, di bawah candi selalu ada peripih yang seringkali berisi barang-barang berharga, sehingga memancing orang yang tahu untuk mencurinya," ungkap Bu Manggar meyakinkan.Â
"Istilahnya mereka Nglandak (mencuri seperti hewan landak), karena menggali dan membuat terowongan diantara batu-batu." pungkas Manggar Sari. Metode pencurian seperti itu ditempat saya disebut Nggangsir (menggali tanah di bawah tembok untuk memasuki rumah). Persis seperti yang diceletukkan oleh Cuk Riomandha, salah seorang moderator yang selalu membawa suasana kelas interaktif jadi sersan (serius tapi santai).
Sejarah Singkat Prambanan
Prambanan, ditemukan kembali tahun 1733 oleh J.A Lons. Lalu dalam catatan Thomas Stamford Raflles, Brambanan (begitu Raflles menyebut Prambanan, dalam bukunya The History of Java), ditemukan kembali tahun 1797 oleh penguasa Belanda yang sedang membangun markas di Klaten , di jalan utama antara dua kota, tidak jauh dari candi ini (Raffles, 2014:355).Â
Digambarkan, saat itu Prambanan berupa reruntuhan yang diselimuti semak belukar lebat. Saking lebatnya, mereka kesulitan untuk membersihkan dan menampakkan bentuk asli karya arstiektur kuno ini.Â
Awal tahun 1812, Kolonel Colin Mackenzie, yang sudah terbiasa dengan benda-benda kuno di India bagian Barat, mengunjungi Brambanan, begitu Raflles `melanjutkan catatannya. Mackenzie ditemani Kapten George Baker, mengadakan survey yang akurat terhadap reruntuhan itu dan membuat sketsa bangunan, ornamen arsitektur serta benda-benda yang ditemukan di sana.Â
Kemungkinan besar, dalam survey ini dua orang kepercayaan Raffles itu berangkat bersama dengan Hermanus Christian Cornellius, seorang sarjana Belanda di Semarang, yang sudah pernah mengunjungi dan mendata temuan di Borobudur dan Prambanan di masa sebelumnya.
Sebagai catatan, pada 1811, Raffles ditunjuk sebagai Letnan Gubernur di tanah Jawa (Lieutenant Governor of Java), di bawah perintah Gubernur Jenderal Inggris yang berkedudukan di India, Sir Gilbert Elliot Murray-Kynynmound. Lebih dikenal sebagai Lord Minto.Â