[caption id="attachment_307012" align="aligncenter" width="512" caption="Gurih, manis dan lezat.."][/caption]
Gurih, agak manis dan lezat, itu kesan pertama saat saya menikmati Sate Ponorogo. Tentu saja saja walau sama-sama sate, berbeda dengan Sate Jamur 02, Sate Madura, Sate Laler atau Sate Sarangan. Masing-masing menawarkan kekhasan, rasa, pengolahan dan sajian yang berbeda. Persamaannya, semua sate itu sangat memanjakan lidah. Sungguh! Selepas dari Goa Lowo dan Telaga Ngebel di Lereng Gunung Wilis, siang jelang sore itu saya segera kembali meluncur ke pusat Kota Ponorogo. Tujuannya jelas, menuju kawasan Segitiga Emas Ngepos. Di Pojok pertigaan jalan raya ini ada warung sate Ponorogo yang sudah kondang. Sate Ngepos ini merupakan salah satu kiblat per-satean di Ponorogo selain Gang Sate Nologaten dan Setono. Rasanya lidah ini sudah rindu dengan sate ini karena dulu sudah pernah mampir sekali ke sini, saat pulang dari Pacitan. Di Depot Sate Ponorogo Ngepos, ada 4 penjual sate. Sate Pak Gareng, Sate Pak Dar dan Sate Pak Yatno. Satunya lupa he he he. Mereka berempat menempati satu bangunan yang sama di pojok jalan. Pembeli biasanya sudah punya langganan sendiri. Saat pembeli berjubel, maka tempat itu akan jadi lautan asap yang menggugah selera. Saya memilih Sate Pak Yatno.
Fillet Sate Ponorogo berbahan dasar ayam kampung. Kalau sate ayam lain, dagingnya dipotong persegi panjang atau dadu, potongan daging Sate Ponorogo sangat khas. Berupa sayatan tipis memanjang menyerupai fillet. Alhasil, dengan potongan daging yang demikian,tentu sangat rendah lemak (kolesterol). Tapi kalau Anda penyuka lemak, bolehlah pesan sate kulit ayam atau sate jeroan. Rasa Sate Ponorogo cenderung agak manis. Ini lantaran beberapa penjual sate khas Ponorogo ini merendam sate-satenya dengan bumbu tertentu sebelum dibakar. Tak pelak, rasa daging Sate Ponorogo sangat unik di lidah. Tapi konon, ada beberapa penjual Sate Ponorogo yang menyajikan satenya dengan rasa daging sedikit pedas. Agar Sate Ponorogo jadi gurih, sebelum dibakar, mula-mula sate dicelupkan pada campuran minyak ayam dan bumbu. Lalu dibakar di atas bara. Tangan penjual sate tak pernah berhenti mengkibas-kibaskan “ilir” nya. Bau asapnya yang beterbangan membikin perut makin keroncongan. Setelah agak matang, ganti kecap yang dilumurkan di atas sate yang sedang dipanggang. Dibolak-balik sebentar dan jrengggg.. Setelah matang betul sate pun siap dihidangkan. Mak nyuss!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H