Semenjak dicalonkan menjadi Capres 2014 oleh PDIP, Pak Jokowi kadang dicemooh karena terlalu berambisi untuk menjadi presiden padahal dia masih menjabat menjadi Gubernur DKI. Yang menjadi pertanyaan, salahkah ambisi yang seperti ini?
Mari kita telaah arti dari kalimat " Gelas yang setengah penuh atau setengah kosong". Kalau kita simak kata "penuh" identik dengan isi yang berarti ada. Kosong berarti tidak ada. Yang saya lihat disini kata "ada" adalah harapan positif atau optimisme dan "tidak ada" berarti harapan negatif atau pesimisme. Apabila kita melihat gelas yang berisi air setengah gelas, dengan berucap setengah penuh, kita berharap dalam arti positif untuk menjadi penuh gelasnya. Secara tidak langsung harapan kita sudah selangkah lebih maju bila dibandingkan dengan berucap setengah kosong yang berarti dalam berharap mesti membutuhkan tetes pertama untuk setengah penuh dan kemudia membuat penuh isi gelasnya. Saya harap ini tidak membingungkan.
Bagaimana dengan Pak Jokowi? Salahkah dia jika mempunya ambisi? Menurut saya, tidak salah, karena dia melihat suatu harapan untuk Negara Indonesia. Jadi mengapa orang ada yang memandang negatif dengan ambisinya?
Mungkin apabila disurvei, tidak semua akan menyebut gelas itu setengah penuh atau setengah kosong. Biar adil katakanlah 50-50. Salahkah mereka yang menyebut gelas itu setengah kosong? Jawabannya adalah tentu saja tidak, dan itu wajar wajar saja.
Kalau kita lihat optimisme itu berasal dari tekad yang menyebabkan keberhasilan yang kadang berawal dari kegagalan. Seorang Jokowi saya yakin pernah mengalami kegagalan dalam kehidupannya, terutama dibidang usahanya. Dengan melihat kesuksesannya di usaha meubelnya sekarang ini bisa membuktikan bahwa seorang Jokowi sudah memiliki optimisme sejak dulu.
Bagaimana dengan 50% orang yang belum memiliki rasa optimisme itu? Bagaimana dia menemukan optimisme itu? Maka dia haru berpikir di luar kotak dan mulailah untuk berpikir positif terhadap dirinya dalam hidup ini.
Saya pernah iseng iseng bertanya ke salah satu sales supervisor suat produk, bagaimana kalau seandainya dia diangkat menjadi manager? Apakah posisi itu akan diterima? Dia dengan lugas menjawab tidak dikarenakan dia merasa tidak mampu dan merasa mesti belajar lebih banyak di posisi yang sekarang ini. Lalu saya analogikan dengan kondisi Pak Jokowi yang masih menjabat menjadi Gubernur DKI saat pencalonan menjadi Capres 2014, bagaimana menurut pandangan dia? Dia menjawab seharusnya Pak Jokowi menuntaskan tugasnya dulu sebagai Gubernur. Lalu saya bertanya lagi, andaikan anda mempunya target penjualan 1000 buah dalam setahun, tetapi baru berjalan 3 bulan sudah terjual 250 buah dan anda ditawari posisi menjadi manager, apakah akan diterima tawarannya? Jawabannya masih sama seperti sebelumnya yaitu tidak. Salahkah dia? Tentu saja tidak, karena memang rasa optimisme dia menjadi seorang manager belum ada. Kenapa dia tidak optimis sedangkan si pemimpin sudah menaruh optimisme pada dia? Toh kalau si pemimpin tidak optimis belum tentu dia menawarkan jabatan itu ke dia.
Butuh berapa lama kita untuk membuktikan sendiri kalau kita mampu? Perlu diingat kesempatan tidak datang dua kali, dan setiap kali kita melangkah adalah suatu proses pembelajaran.
Saya rasa kita mesti melihat sesuatu dengan "setengah penuh" dengan tujuan menimbulan aura aura positif di dalam diri kita yang secara tidak langsung akan mentransferkan aura itu ke masyarakat.
Mencoba untuk memperbaiki, bukan mencoba untuk mencela.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H