“Dimana kah letak keangkuhan, kala mengenang dari apa diri bermula, dan bagaimana ia kan berakhir?”
Keangkuhan, secantik apapun bentuknya, takkan pernah menarik hati. Sebab keangkuhan, sejatinya bukanlah alami. Ia buatan, hasil dari kealpaan kita akan 2 hal: dari apa diri bermula, dan bagaimana diri kan berakhir.
Dari apa diri bermula, jika tak hanya dari setetes air semata? Setetes air yang tak berarti, bahkan seringkali terbuang sia-sia. Tetesan air yang keberadaannya semata, jika tanpa niatan nan lurus, hanya akan terhinakan dan tak dipandang. KehendakNya lah, yang menjadikan tetesan air itu kini mewujud menjadi tubuh nan berakal. Mengingat ini, bagaimana kah dalam jiwa kan terbit keangkuhan?
Bagaimana diri kan berakhir, jika bukan menjadi bangkai nan busuk aromanya? Bangkai yang tak seorang pun, ya tak seorang pun—bahkan sang tercinta—kan sudi memeliharanya, semulia apapun ia kala hidup di dunia? Meregang nyawa, yang tak pernah kita tahu kapan waktunya, lalu berakhir lah segalanya. Tubuh merupa bangkai, masih ada kah sisa keangkuhan?
Maka mengingat keduanya, awal dan akhir, adalah obat keangkuhan. Jiwa yang memelihara keangkuhan, adalah jiwa yang lalai akan keduanya. Sebab keduanya niscaya, terjadi pada siapapun, seperti apapun hebatnya ia semasa hidup. Cermatilah benih-benihnya, wahai diri, lalu bersegeralah mengingat kedua obatnya. Jangan biarkan ia sempat bersemi, hingga berakar kuat dan sulit kau atasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H